Manakah Yang Lebih Pemurah, Nabi Ibrahim as atau Nabi Ismail as
Mawlana Shaykh Muhammad Hisham Kabbani qs
23 Desember 2005, As-Shidiq Mosque
Al-hajj ash-hurun ma`lumat faman. Ibadah Haji dan Hari Arafah segera
tiba dalam beberapa hari ini. Semata untuk memenuhi kewajiban kita
kepada Tuhan kita. Ummat Islam (Muslim) kini tengah bersiap-siap untuk
menunaikan ibadah hajji ini.
Nisaburi berkata dalam Tafsir-nya, bahwa pada hari itu, akramallahu
hadza al-Ummah bi sawmi 'Arafat wa akram arba'a min al-anbiyaa'. "Allah
melimpahkan barakah-Nya pada hari itu dengan puasa Arafah, dan Ia SWT
melimpahkan pula kehormatan pada empat Nabi pada hari itu:
1) Nabi Adam alayhi salam, Allah swt memaafkanya pada hari itu dari dosa memakan buah pohon terlarang
2) Nabi Musa 'alayhissalam, dengan takliim, berbicara langsung padanya di hari itu
3) Melimpahkan kehormatan pada Nabi Muhammad sallAllahu 'alayhi wa aalihi wasallam dengan ibadah hajji dan kesempurnaan agama
4) Nabi Ibrahim alayhissalam dengan melimpahkan kehormatan padanya
dengan seekor domba untuk disembelih sebagai ganti penyembelihan
putranya Nabi Ismail bagi Tuhannya.
Karena itulah, hari itu, yang kini tiba pada diri kita, amatlah
penting. Karena itu pula Sayyidina Abu Bakr As-Siddiq radiyAllahu 'anhu
mengetahui bahwa saat Allah SWT menurunkan ayat: Al yawma akmaltu lakum
diinakum wa atmamtu 'alaykum ni'matii..."Pada hari ini telah
Ku-sempurnakan agamamu, dan telah kucukupkan bagimu ni'matku...",
[menunjukkan bahwa pada hari] Arafat adalah puncak agama. Ia adalah
tingkat tertinggi Islam. Allah SWT berfirman al-yawma, hari ini. Saat
Nabi sallAllahu 'alayhi wa aalihi wasallam dalam hajjat al-wida', haji
perpisahan, setelah mengalami kemenangan penuh dan memasuki Kota Makkah
dan Ka'bah, Allah mewahyukan pada beliau "Hari ini telah Ku-sempurnakan
agamamu dan Ku-cukupkan bagimu ni'mat-Ku".
Saat ayat Quran ini turun, Sayyidina Abu Bakar radiyAllahu 'anhu
menangis. Para Sahabat yang lain bergembira. Mereka pun bertanya
padanya, "Mengapa kau menangis, sedangkan tiap orang lainnya demikian
bahagia?" Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq ra pun menjawab, "Adalah benar
apa yang dipahami setiap orang yang lain, namun yang kupahami dari ayat
ini adalah bahwa Nabi sallAllahu 'alayhi wa-aalihi wasallam akan
meninggalkan diri kita, karena wahyu telah sempurna, telah selesai."
Delapan puluh hari kemudian Nabi sallAllahu 'alayhi wa-aalihi wasallam
pun wafat meninggalkan dunia fana' ini.
Wahai Muslim, Setelah kesempurnaan, tak akan ada yang lainnya. Itu
berarti kalian tak dapat menambahkan suatu apa pun pada agama Isalam.
Selesai. Itulah makna "atmamtu", ayat itu tak berbunyi tersempurnakan,
tapi ayat itu berbunyi "Telah Ku-lengkapkan ni'mat-Ku". Kamal berbeda
degan Tamam. Kamal berarti tak ada yang melebihinya. Tak ada yang
melebihi bulan purnama di pertengahan bulan, tanggal 15 bulan Qomariyah.
Tamam dapat berarti tamam menurut level kalian atau menurut level yang
lainnya. Artinya, "Aku lengkapkan ni'mat-Ku bagimu, namun Aku
melengkapkannya lebih banyak lagi dan lebih banyak lagi." Jadi, setelah
Kamal, tak ada yang lain selain nuqsan.
Jadi dalam Islam semua sudah sempuran, tak ada lagi yang perlu
dilengkapkan. Jika Muslim melengkapi kewajiban-kewajiban yang telah
diberikan pada mereka, mereka akan berbahagia dalam kehidupan ini.
Tetapi lihatlah saat ini setiap orang datang dengan membawa berbagai
masalah. Itulah kebijaksanaan dan kehendak Allah. Itulah sunnatullah
yang ada saat Allah menciptakan ciptaan. Sayyidina Adam 'alayhissalam
memiliki masalah-masalahnya. Musuhnya nomor satu manusia adalah Iblis.
Nabi sallAllahu 'alayhi wa aalihi wasallam, sang Mustafa, yang
terpilih sebagai Nabi pilihan pun menghadapi masalah-masalah dari
kaumnya. Bahkan hingga hari inipun, beliau sallAllahu 'alayhi wa aalihi
wasallam tetap beroleh masalah dari orang-orang bodoh yang berkata
miring tentang beliau. Namun, bagaimanakah masalah-masalah ini dapat
diatasi? Berserahdirilah! Jika kalian berserah diri pada Kehendak Allah,
kalian akan menyelesaikan masalah-masalah kalian.
Dalam (Tafsir) Nisaburi, saat Allah memerintahkan Nabi Ibrahim as
untuk menyembelih putranya Isma'il, "idzaa araa fii manaamihi".
Diriwayatkan dalam Tafsir tersebut, bahwa siti Hajar, istri kedua
sayyidina Ibrahim (as), yang sebelumnya adalah hamba sahayanya, dinikahi
oleh beliau setelah istrinya yang pertama,
Sarah, karena istri yang pertamanya ini saat itu belum melahirkan seorang anak pun.
Kemudian hubungan Siti Hajar dengan Siti Sarah menjadi tidak
harmonis. Kita sering mendengar saat ini orang berkata, "Aku tak tahan
lagi; aku akan melarikan diri!" Demikian pula saat itu, Siti Hajar ingin
melarikan dirinya dari Siti Sarah, nyonyanya, dan seorang malaikat pun
mendatanginya, seraya berkata padanya, "Kenapa kau lari? Mengapa kau
meninggalkan tuanmu Sarah?" Siti Hajar menjawab, "Aku tak mampu lagi
bersabar darinya". Sang Malaikat berkata, "Kembalilah kamu, jangan
melarikan diri! Dengarkan dan taatilah apa yang ia katakan, ia adalah
tuanmu."
Siapakah yang dapat menerima hal seperti itu sekarang? Tak seorang
pun. Kita tak mampu menerima nasihat dari saudara kepada saudara
lainnya. Kita tak pula mampu menerima nasihat, dari ibu kepada putrinya,
atau ibu kepada putranya, dari istri kepada suami atau sebaliknya, kita
tak mau lagi menerima dan mendengar nasihat apa pun. Jika kita
bertindak seperti Siti Hajar, untuk menerima dan berserah diri, tentu
semua masalah akan terselesaikan. Jangan lari! Hadapi masalah! Wahai
Hajar kau akan hamil dan mengandung seorang nabi, Nabi Ismail yang dari
keturunannya kelak akal lahir Sang Pemimpin, As-Sayyid, Manusia Pilihan,
yang menyampaikan Wahyu di Hari-hari Terakhir dunia ini. Jangan lari,
saat itu tengah menunggumu saat dirimu mengandung sang pemimpin
kemanusiaan, di mana ia sallAllahu 'alayhi wa aalihi wasallam bersabda
dalam suatu hadits "Ana sayyidii waladi Aadam wa laa fakhr". (Aku
pemimpin seluruh anak keturunan Adam, dan tidaklah aku bersombong).
Siti Hajar pun kembali, dan ia berlaku sabar hingga ia pun hamil. Ia
pun melahirkan Nabi Isma'il 'alayhissalam hingga ia berusia 13 tahun,
saat mana Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih Isma'il. Mengapakah
perintah penyembelihan sang anak Isma'il tersebut datang lewat mimpi?
Karena para Nabi diberi wahyu lewat perantaraan Sayyidina Jibril
'alayhissalam, kecuali Sayyidina Musa 'alayhissalami, yang selalu dapat
berbicara langsung kepada Allah. Saat Sayyidina Ibrahim 'alayhissalam
berada dalam kobaran api Namrudz, Sayyidina Jibril 'alayhissalam
mendatangi beliau dan bertanya pada beliau, "Adakah sesuatu yang kau
perlukan?" Ibrahim 'alayhissalam menjawab, "Tak ada, aku hanya
membutuhkan dari Allah."
Lalu, kenapa kemudian perintah itu turun melalui suatu mimpi? Saat
Allah Ta'ala memerintahkan pada Jibril, "Pergi dan katakan padanya untuk
menyembelih putranya," Jibril pun berkata, "Wahai Allah, mohon
janganlah mengutusku untuk melakukan hal ini. Akan kulakukan apa pun
yang Kau perintahkan padaku, namun aku mohon pada-Mu untuk tidak
memerintahkanku membawa perintah itu. Aku telah membangun suatu
persahabatan yang erat dengan Nabi Ibrahim as. Ia adalah seseorang yang
telah berusia lanjut. Bagaimanakah aku mampu pergi dan berkata padanya
untuk menyembelih putranya yang baru ia dapati setelah usianya sudah
sedemikian tua? Selama ini belum pernah aku mendatanginya kecuali dengan
kabar gembira; mohon jangan taruh diriku dalam ujian seperti itu."
Allah pun berfirman, "Baiklah, Aku akan mengirimkan padanya melalui
mimpi." Ibrahim 'alayhissalam pun melihat mimpi tersebut, dan ini
terjadi pada malam 'Arafat. Karena itulah, selepas Arafat, kita pergi
dan menyembelih (qurban). Mimpi ini terjadi pada malam tanggal sembilan,
dan bukan malam tanggal sepuluh.
Ibrahim 'alayhissalam pun segera berangkat dan menyembelih 100 domba.
Maka, beliau pun menyembelih 100 domba, setelah ia melihat dalam mimpi
bahwa dirinya diperintahkan untuk menyembelih putranya. Maka, begitu ia
selesai menyembelih domba-domba tersebut, api pun menyambar dan
mengambilnya. Ini adalah cara Allah SWT menunjukkan penerimaan-Nya akan
kurban tersebut, sebagaimana dalam kasus Habil dan Qabil (putra-putra
sayyidina Adam 'alayhis salam). Habil menyembelih kambing terbaiknya,
sedangkan Qabil mengurbankan yang terjelek. Api turun dan mengambil
domba qurban Habil dan tidak mengambil dombanya Qabil. Setelah peristiwa
ini, Qabil menjadi dengki dan iri, sampai berakibat ia membunuh
saudaranya sendiri.
Demikianlah, segala sesuatu didunia kini telah berubah menjadi
kedengkian dan bisnis belaka. Saat orang melakukan bisnis dengan baik,
kedengkian dan kecemburuan pun ditimpakan atas diri mereka. Begitu
banyak Sihir digunakan dan melahirkan masalah-masalah lainnya. Setiap
orang merasa dengki atas yang diperoleh saudara lainnya, dan berusaha
menyakiti mereka.
Demikianlah, kembali kepada kisah Nabi Ibrahim, ia demikian bahagia
api turun dan mengambil ke-100 dombanya. Kemudian ia melihat lagi mimpi
yang sama pada malam tanggal 10, malam 'Idul Adha. Ia tahu bahwa mimpi
tersebut bermakna, "Wahai Ibrahim, kau mesti menyembelih putramu
bagi-Ku, Aku tak menginginkan domba-dombamu. Aku menginginkan putramu."
Apakah kalian kira Allah (swt) tak mengetahui bahwa Isma'il adalah
kakek moyang dari Sayyidina Muhammad sallAllahu 'alayhi wa aalihi
wasallam yang akan datang di masa kemudian? Tentu saja Allah mengetahui
segala sesuatunya! Namun, Allah SWT menghendaki untuk menyembunyikan hal
tersebut dari Nabi Ibrahim 'alayhissalam dan menyembunyikannya pula
dari Nabi Isma'il 'alayhissalam.
Cahaya dari sang Insan Kamil (manusia sempurna) tersebut ada pada
dahi Sayyidina Isma'il 'alayhis salam. Cahaya tersebut berpindah dari
sang ayah ke sang putra lewat dahi tersebut, dan ketika ia menikah,
cahaya itu pun berpindah ke putranya. Cahaya itu adalah "ikraaman li
Muhammad" (penghormatan bagi Sayyidina Nabi Muhammad sallAllahu 'alayhi
wa aalihi wasallam). Karena itulah, kita mengatakan dalam Tafsir, bahwa
sajadah sujud kepada Adam as adalah sajda ikraam (sujud penghormatan)
dan bukan sajda ibadah (sujud penyembahan). Penyembahan atau ibadah
hanyalah bagi Allah.
Maka, pada titik ini, apa yang mesti dilakukan oleh NabI Ibrahim as?
Tak ada jalan lain. Maka, beliau pun menyuruh Hajar mempersiapkan
Isma'il dan berkata, "Aku akan pergi dengannya." Hajar memandikan
Isma'il dan meminyakinya. Lalu syaitan datang pada Hajar dan berkata,
"Percayakah kamu pada suamimu? Ia tidak akan membawa putramu untuk pergi
berpiknik; ia akan menyembelih dan mengurbankan putramu." Hajar
menjawab, "Aku serahkan semua pada Tuhanku, aku tak peduli. Aku serahkan
semua pada Tuhanku." Kemudian, syetan pun berpaling pada Sayyidina
Isma'il dan berkata padanya, "Ayahmu akan membunuhmu!" Nabi Isma'il
menjawab, "Wahai musuh Allah, jangan kau ganggu diriku. Jika ayahku
hendak membunuhku, aku pun akan berbahagia untuk pergi menghadap
Tuhanku."
Semua peristiwa ini terjadi di hari-hari Hajji. "Qaala yaa bunayya
innii araa fil manaam... Faf'al maa tu'mar!" Sayyidina Isma'il berkata,
"Aku tak akan berkata satu kata pun, tak perlu mengikatku, dan jangan
kau tutup mataku, aku siap untuk Tuhanku."
Siapa yang mampu melakukan hal tersebut sekarang? Siapa yang mampu
menerimanya? Hal ini tidaklah terlalu sulit. Lihatlah bagaimana
Anbiyaullah (para Nabi Allah) menghadapi masalah dan kesulitan. Lihatlah
pada diri kita, bagaimana kita menghadapi kesulitan-kesulitan dan
berbagai masalah yang demikian kecil dibandingkan apa yang dialami oleh
keluarga Nabi Ibrahim 'alayhissalam untuk menyembelih anaknya, maka kita
tak mampu menghadapinya!
Saat itu, Nabi Isma'il (as) adalah putra satu-satunya. Nabi Ibrahim
(as) belum memiliki Ishaq atau Ya'qub. Sang putra, Isma'il berkata,
"Wahai ayahandaku, lakukanlah apa yang diperintahkan padamu dan kau akan
mendapati diriku sebagai seseorang yang sabar, dan aku pun ingin agar
dirimu pun bersabar. Seorang anak berumur 7 tahun atau 13 tahun berkata
pada ayahandanya, "Bersabarlah. Namun, aku menginginkan satu hal darimu,
wahai ayah." "Apakah itu?" tanya sang ayah, Nabi Ibrahim 'alayhissalam.
"Ambil dan bawalah bajuku, berikanlah pada ibundaku; sebagai suatu
pengingat baginya bahwa aku memberikan nyawaku bagi Tuhanku. Dan, wahai
Ayah, mohon katakanlah pada ibundaku seperti ini: 'Kutinggalkan anakku
di suatu tempat yang lebih baik dari tempatmu dan di suatu majelis yang
lebih baik dari majelismu'. Aku kini berada di Hadirat Tuhanku."
Nabi Ibrahim 'alayhissalam pun tak mampu mengendalikan dirinya lagi
untuk tak menangis. Tangisnya pun berurai, "Wahai Allah, kasihanilah
diriku atas kelemahan diriku, dan biarkanlah aku hidup lebih lama untuk
memiliki seorang anak lagi. Jika Kau tak mengasihaniku, maka kasihanilah
putraku, anak kecilku ini yang belum memilki dosa sama sekali, dan
hanya berusia 7 tahun. Jika aku punya sesuatu dosa, tak mengapa bagiku
bila Kau tak mengasihaniku, namun ia tak bersalah dan tak berdosa sama
sekali."
Dan ketujuh langit pun dengan malaikat-malaikat didalamnya, mereka se
mua menangis! Malaikat Jibril pun menangis dan Nabi Ibrahim pun
menangis. Pintu-pintu langit terbuka lebar, dan Nabi Ibrahim dengan
segenap tangisan dan luka dalam di hatinya, ia mengambil putranya dan
menaruhnya di atas batu dengan segenap kekuatannya, dan menaruh pisaunya
yang tajam di pembuluh darah di leher Isma'il putranya, sambil
mendorongnya dengan keras, namun - pisau itu tak juga dapat memotong.
Nabi Ibrahim as dengan cepat berusaha memotong (anaknya) dan segera
mengakhiri situasi yang penuh kesedihan tersebut, dan Allah mengujinya
kembali di waktu ini. Allah Ta'ala tak mengizinkan pisau tersebut untuk
menyayat leher Isma'il. Namun, ini merupakan ujian lain bagi Ibrahim -
artinya ia harus melakukan sayatan potongan tersebut berulang kali, dan
hatinya pun terbakar. Nabi Isma'il, putranya, berkata, "Apa yang
terjadi, wahai Ayahku, aku mencium bau daging terbakar?" Ibrahim
menjawab, "Dagingku yang terbakar dari dalam karena kepedihan wahai
anakku!"
Ia pun mendorongkan pisaunya sekali lagi. Namun pisau itu tak juga
mau memotong. Allah berfirman pada Jibril, "Jika pisau itu sampai
memotong leher Isma'il, akan Ku-lempar kau dari hadapan-Ku!" Maka dengan
kecepatannya, Malaikat Jibril melesat menuju Ibrahim. Dan Ibrahim pun
melempar pisau tersebut dengan amarah karena ia tak mampu memenuhi
perintah Tuhannya padahal pisau tersebut telah diasah olehnya hingga
tajam. Dan pisau itu pun berkata, "Mengapakah dirimu marah wahai
Ibrahim?" Nabi Ibrahim menjawab, "Kau tak juga memotong leher Isma'il
anakku, dan aku pun tak dapat memenuhi perintah Tuhanku."
Pisau itu menjawab, "Ingatkah engkau ketika api tak mampu membakar
dirimu?" Nabi Ibrahim menjawab, "Ya, aku ingat, dan itu karena perintah
Tuhanku agar ia tak membakar diriku." Pisau itu pun berkata lagi, "Dan
aku pun mematuhi perintah Tuhanku 70 kali untuk tidak memotong leher
Isma'il. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman pada api "Kuunii bardan wa
salaaman 'alaa Ibrahiim" "Jadilah engkau dingin dan menyelamatkan bagi
Ibrahim", Ia SWT pun berfirman pada diriku untuk tidak memotong leher
Isma'il." Dan dengan segera Malaikat Jibril membawa seekor kambing pada
Ibrahim dan berkata padanya, "Engkau telah memenuhi apa yang Allah
perintahkan bagimu - maka kini sembelihlah seekor domba."
Karena itulah, kini setiap orang menyembelih seekor domba pada hari
hajji, untuk menghapuskan dan meluruhkan segenap dosa. Nabi Isma'il as
pun berkata, "Aku ingin mengajukan satu pertanyaan? Akukah yang lebih
pemurah dari dirimu, wahai Ayahku, ataukah dirimu yang lebih pemurah
daripadaku?" Nabi Ibrahim (as) pun menjawab, "Aku lebih pemurah
daripadamu." Mengapa? Tanya Nabi Ismail as. "Karena aku memberikan
putraku dengan tulus bagi Tuhanku sebagai suatu kurban." Nabi Isma'il as
berkata kembali, "Wahai ayahandaku, dan Isma'il memiliki rahasia Nabi
Muhammad sallAllahu 'alayhi wa aalihi wasallam dalam dirinya, "Itu
tidaklah benar. Kau memberikan anakmu, dan bukan dirimu sendiri.
Sedangkan diriku menyerahkan jiwaku dan aku tak memiliki jiwa yang lain
selain yang kupunyai saat ini. Engkau tidak menyerahkan jiwamu sendiri.
Karena itu, aku lebih pemurah dari dirimu."
Lihatlah jawabani itu adalah karena Nabi Isma'il as membawa rahasia
dari ruh Sayyidina Muhammad sallAllahu 'alayhi wa aalihi wasallam,
Rahmat dan Kasih Sayang bagi seluruh ummat manusia. Rahmat bagi
Kemanusiaan itu adalah sesuatu yang hebat. Inilah suatu rahasia yang ada
dalam qalbu Anbiya' (para Nabi). Tak seorang pun tahu berapa tinggi dan
dalam rahasia tersebut. Apa yang Sayyidina Isma'il berikan pada kita
adalah suatu citarasa dari kasih sayang sang Nabi Akhir Zaman Sayyidina
Muhammad (saw) yang datang di kemudian hari sebagai keturunan Sayyidina
Isma'il as. Bihurmatil Habib, Al-Faatihah!
Wa min Allah Tawfiq