Thursday, September 19, 2013

Biografi Mawlana Syaikh Khalid al-Baghdadi (qs)

Biografi Mawlana Syaikh Khalid al-Baghdadi (qs)
Semoga Allah Mensucikan Jiwanya

oleh Mawlana Shaykh Hisyam Kabbani qs

Diterjemahkan dari Buku The Golden Chain

 Sultanul Awliya Syaikh Khalid al-Baghdadi qs
  Sultanul Awliya Syaikh Khalid al-Baghdadi qs

Bismillahir Rahmaanir Rahim

Syaikh Khalid al-Baghdadi qs, dia adalah Ulama dari Para Ulama, dan Wali dari Para Wali dan Orang yang Mengetahui dari yang mengetahui.  Beliau adalah Cahaya bulan Purnama dari Tariqah Naqshbandi pada masanya.  Dia adalah Pemegang Rahasia Realita dan Realitas dari Rahasia. Rahasianya menggerakkan  hati setiap manusia bagaikan Ruh yang memasuki badan.  Seandainya Nabi Muhammad saw bukan Nabi Terakhir, maka perkataannya akan menjadi suatu Wahyu Allah.  

Beliau adalah seorang mujtahid (penguasa) dalam Hukum Ilahi (shari`a) dan Realitas Ilahi (Haqiqat). Beliau merupakan cendikiawan dari para cendikiawan dan Wali dari para Wali dan yang orang paling banyak pengetahuannya, pada masanya beliau adalah cahaya bulan purnama dalam aliran tariqat Naqshbandi. Beliau adalah pusat dari lingkaran kutub di masanya. Syaikh Khalid al-Baghdadi adalah Mursyid tariqat Naqshbandi ke-31, penerus rahasia tariqat Naqshbandi dari Syaikh Abdullah ad-Dahlawi . Beliau meyebarkan ilmu-ilmu Syariat dan Tasawwuf.

Beliau lahir pada tahun 1193 H/1779 M di desa Karada, kota Sulaymaniyyah, Iraq. Beliau mempunyai gelar Utsmani karena beliau adalah keturunan Sayyidina Utsman bin Affan , kalifah ketiga dari Rasulullah . Beliau tumbuh dan belajar di sekolah-sekolah dan masjid yang tersebar di kota itu. Pada saat itu kota Sulaymaniyyah dianggap sebagai kota pendidikan utama.

Kakek beliau adalah Par Mika'il Chis Anchit, yang berarti Mika'il Wali dengan enam jari. Beliau mempelajari al- Qur'an dan tafsir Imam Rafica menurut Mahdzab Shafi`i. Selain itu, beliau juga terkenal di bidang puisi. Ketika berumur 15 tahun beliau menetapkan asceticism (doktrin keagamaan yang menyatakan bahwa seseorang bisa mencapai posisi spiritual yang tinggi melalui disiplin diri dan penyangkalan diri yang ketat) sebagai falsafah hidupnya, kelaparan sebagai kudanya, tetap terjaga (tidak tidur) sebagai jalannya, khalwat sebagai sahabatnya, dan energi sebagai cahayanya.

Beliau berkelana di dunia Allah dan menguasai segala macam pengetahuan yang tersedia di jamannya. Belajar berguru pada dua cendikiawan besar di masanya, yaitu Syaikh `Abdul Karam al-Barzinji dan Syaikh Abdur Rahim al-Barzinji, beliau juga membaca bersama Mullah Muhammad `Ali. Kemudian beliau kembali ke Sulaymaniyyah dan di sana mempelajari ilmu matematika, filosofi, dan logika. Lalu beliau kembali ke Baghdad dan mempelajari Mukhtasar al-Muntaha fil-Usul, sebuah ensiklopedia tentang jurisprudensi.

Selanjutnya beliau mempelajari karya-karya Ibnu Hajar, Suyuti, and Haythami. Beliau dapat menghafal tafsir Al-Qur'an dari Baydawi. Beliau juga mampu menemukan pemecahan atas segala pertanyaan pelik mengenai jurisprudensi.

Beliau juga adalah seorang Hafidz, beliau hafal Al-Qur'an dengan 14 cara membaca yang berbeda, dan menjadi sangat terkenal karena hal ini. Pangeran Ihsan Ibrahim Pasha, gubernur daerah Baban, berusaha membujuknya untuk mengasuh sekolah di kerajaannya. Namun beliau menolak dan malah pergi ke kota Sanandaj, untuk mempelajari ilmu matematika, teknik, astronomi dan kimia. Guru beliau di bidang ini adalah Muhammad al-Qasim as-Sanandaji. Setelah menyelesaikan pelajaran ilmu-ilmu sekuler, beliau kembali ke kota Sulaymaniyyah.

Menyusul wabah penyakit di kota itu pada tahun 1213 H/1798 M, beliau mengambil alih sekolah Syaikh-nya `Abdul Karam Barzinji. Beliau mengajar ilmu-ilmu modern, meneliti dan menelaah persamaan-persamaan yang sulit di bidang astronomi dan kimia.

Kemudian beliau berkhalwat, meninggalkan segala yang telah dipelajarinya, dan datang ke pintu Allah dengan segala perbuatan yang soleh dan memperbanyak dzikir baik keras maupun dalam hati. Beliau tidak lagi mengunjungi Sultan, tetapi tetap menjalin hubungan dengan murid-muridnya hingga tahun 1220 H/1806 M, ketika beliau memutuskan untuk naik haji dan menemui Makam Rasulullah Sallallahu alayhi  wasalam.

Beliau meninggalkan segalanya dan pergi ke Hijaz melewati kota-kota Mosul, Yarbikir, ar-Raha, Aleppo dan Damaskus, di sana beliau menemui para cendikiawan dan mengikuti Syaikhnya, yang merupakan ahli ilmu-ilmu kuno dan modern dan juga pengajar hadits, ash-Syaikh Muhammad al-Kuzbara.

Beliau menerima otorisasi terhadap Tariqat Qadiriah dari Syaikh al-Kuzbari dan deputinya, Syaikh Mustafa al-Kurdi, yang kemudian melanjutkan perjalanan bersamanya sampai tiba di kota Rasulullah.

Beliau memberi penghormatan kepada Rasulullah dengan puisi Persia yang dibaca dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat orang-orang menjadi terpesona akan keelokannya. Beliau menghabiskan cukup banyak waktu di sana. Beliau menceritakan pengalamannya,

"Aku sedang mencari orang saleh yang sangat langka untuk dimintai nasihat ketika Aku melihat seorang Syaikh di sebelah kanan Makam yang Diberkati (Rawdatu-sh-Sharifa). Aku lalu meminta nasihat kepadanya, dan berkonsultasi dengannya. Beliau menasihatiku agar tidak berkeluh-kesah terhadap segala masalah yang mungkin bertentangan dengan Syari’at ketika memasuki kota Makkah, Aku dianjurkan agar tetap tenang dan diam. Akhirnya Aku pun tiba di Makkah, dan nasihat tadi benar-benar kupegang dalam hati. Aku pergi ke Masjid Suci pada pagi hari di hari Jumat. Aku duduk dekat Ka’bah dan membaca Dala'il al-Khayrat, ketika aku melihat seseorang dengan janggut hitam bersandar pada sebuah pilar dan matanya menatapku.

Terlintas dalam hatiku bahwa orang ini tidak memberikan penghormatan yang layak kepada Ka’bah, tetapi aku tidak berbicara apa pun mengenai hal itu. "Dia melihatku dan menegurku dengan berkata, 'Hei orang bodoh, apakah kamu tidak tahu bahwa kemuliaan hati seorang mukmin jauh lebih berarti dari pada keistimewaan Ka`bah? Mengapa kamu mengkritik aku dalam hatimu mengenai cara berbaringku ini, dengan membelakangi Ka’bah dan mengarahkan wajahku padamu.

Apakah kamu tidak mendengar nasihat Syaikhku di Madinah yang berkata kepadamu agar tidak mengkritik sesuatu?' Aku berlari kepadanya dan memohon maaf, mencium tangan dan kakinya dan meminta bimbingannya kepada Allah. Dia lalu berkata, “Wahai anakku, harta kekayaanmu dan kunci hatimu tidak berada di sini, melainkan di India. Syaikhmu berada di sana. Pergilah ke sana dan beliau akan menunjukkan apa yang harus kamu lakukan”.

Aku tidak menemukan orang lain yang lebih baik darinya di semua sudut Masjidil Haram. Namun, dia juga tidak mengatakan kepadaku ke mana aku harus pergi di India, jadi aku pulang kembali ke Syam dan berasosiasi dengan cendikiawan di sana.

Beliau lalu kembali ke Sulaymaniyyah dan kembali mengajar tentang penyangkalan terhadap diri. Beliau selalu mencari orang yang dapat menunjukkan jalan baginya. Akhirnya, seseorang datang ke Sulaymaniyyah, dia adalah Syaikh Mawlana Mirza Rahimullah Beg al-M`aruf qs yang dikenal juga dengan nama Muhammad ad-Darwish `Abdul `Azim al-Abadi qs, salah seorang kalifah dari kutub spiritual, Qutb al-A`zam, `Abdullah ad-Dehlawi qs. Beliau bertemu dengannya, memberinya hormat dan meminta petunjuk yang benar yang dapat menerangi jalannya.

Dia berkata kepadanya, “Ada seorang Syaikh yang sempurna, seorang cendikiawan dan orang yang mengetahui banyak hal, yang menunjukkan para pencari jalan kepada Raja dari Raja, ahli dalam segala hal, mengikuti tariqat Naqshbandi, dan mempunyai karakter Rasulullah saw, seorang pembimbing dalam ilmu tentang spiritualitas. Ikutlah bersamaku ke Jehanabad. Beliau telah berpesan kepadaku sebelum aku pergi, “Kamu akan bertemu seseorang, bawa dia bersamamu”.

Syaikh Khalid pindah ke India pada tahun 1224 H/1809 M melalui kota Ray, lalu Teheran, dan beberapa propinsi di Iran di mana beliau bertemu dengan cendikiawan besar Isma`il al-Kashi. Kemudian beliau melanjutkan perjalanannya ke Kharqan, Samnan, dan Nisapar. Beliau juga mengunjungi Guru dari Induk segala tariqat di Bistam, Syaikh Bayazid al-Bistami qs, dan beliau memberikan penghormatan di makamnya dengan puisi Persia yang sangat elok. Kemudian beliau bergerak ke Tus, mengunjungi as-Sayyid al-Jalal al-Ma'nas al-Imam `Ali Rida, dan beliau memujinya dengan puisi Pursia yang lain yang membuat semua penyair di Tus menerimanya.

Kemudian beliau memasuki kota Jam dan mengunjungi ash-Syaikh Ahmad an-Namiqi al-Jami dan memberikan penghormatan dengan puisi Persia yang lain lagi. Beliau lalu memasuki kota Herat di Afghanistan, lalu Kandahar, Kabul, dan Peshawar. Di semua kota ini cendikiawan besar yang ditemuinya selalu menguji pengetahuannya tentang Hukum Ilahi (shari`a) dan Kesadaran Ilahi (ma`rifat), ilmu-ilmu logika, matematika, dan astronomi. Mereka menyebutnya seperti sungai yang luas, mengalir dengan ilmu, atau seperti samudra tanpa pantai.

Kemudian beliau pindah lagi ke Lahore, di mana beliau bertemu dengan Syaikh Thana'ullah an-Naqshbandi dan meminta do’a darinya. Beliau mengatakan, “Malam itu Aku bermalam di Lahore dan Aku bermimpi bahwa Syaikh Thana'ullah an-Naqshbandi menarikku dengan giginya. Ketika Aku terbangun Aku ingin mengatakan mimpiku itu kepadanya, tetapi dia mengatakan, “Jangan menceritakan mimpi itu kepadaku, Kami telah mengetahuinya. Itu adalah tanda untuk bergerak dan segera menemui saudara dan Syaikhku, Sayyidina `Abdullah ad-Dahlawi”

Hatimu akan dibuka olehnya. Kamu akan melakukan bay’at dalam tariqat Naqshbandi. Lalu Aku mulai merasakan daya tarik spiritual dari Syaikh. Aku meninggalkan Lahore, menyebrangi pegunungan dan lembah, hutan dan padang pasir sampai tiba di Kesultanan Delhi yang dikenal dengan Jehanabad. Perjalanan itu memakan waktu 1 tahun. 40 hari sebelum aku tiba, dia berkata kepada para pengikutnya, “Penerusku akan datang”.

Malam saat beliau memasuki kota Jehanabad beliau menuliskan puisi dalam bahasa Arab, merenungkan kembali perjalanannya dan memuji Syaikhnya. Lalu beliau memberi penghormatan kepadanya dengan puisi Persia yang mengejutkan semua orang karena keelokannya. Beliau menyerahkan semua barang yang dibawanya dan segala yang ada di kantongnya kepada fakir miskin. Kemudian beliau melakukan bay’at dengan Syaikhnya,  Sayikh `Abdullah ad-Dahlawi. Beliau menjadi pelayan di zawiya (madrasah dan masjid) Syaikhnya dan mencapai perkembangan yang pesat dalam berperang melawan egonya.

Lima bulan belum lewat ketika beliau menjadi salah seorang dalam Kehadirat Ilahi dan mempunyai Visi Ilahi.  Beliau diizinkan oleh Syaikh `Abdullah untuk kembali ke Iraq. Syaikh memberinya otoritas tertulis dalam lima tariqat : yang pertama adalah Tariqat Naqshbandi, atau Rantai Emas. Yang kedua adalah tariqat Qadiri melalui Sayyidina Ahmad al-Faruqi's Syaikh Shah as-Sakandar , dari sana kepada Sayyidina `Abdul Qadir Jilani , al-Junayd, as-Sirra as-Saqati , Musa al-Kazim , Ja`far as-Sadiq , Imam al-Baqir , Zain al-`Abideen , al-Husayn , al-Hasan , `Ali ibn Abi Talib , dan Sayyidina Muhammad .

Tariqat ketiga adalah as-Suhrawardiyya, yang mempunyai silsila (rantai) serupa dengan tariqat Qadiriyya sampai al-Junayd , yang mengembalikan kembali ke Hasan al-Basri dari sana ke Sayyidina `Ali dan Rasulullah saw. Syaikh Abdullah juga memberinya otoritas untuk tariqat Kubrawiyya, yang mempunyai jalur sama dengan tariqat Qadiriyya tetapi melalui Syaikh Najmuddin al-Kubra qs.

Akhirnya, beliau diberi otoritas untuk tariqat Chishti melalui garis yang dapat ditelusuri kembali dari `Abdullah ad-Dahlawi dan Jan Janan kepada Sayyidina Ahmad al-Faruqi lalu melalui banyak Syaikh kepada Syaikh Mawrad Chishti , Nasir Chishti , Muhammad Chishti , dan Ahmad Chishti kepada Ibraham ibn Adham , Fudayl ibn al-`Iyad , Hasan al-Basri , Sayyidina `Ali , dan Rasulullah saw.

Syaikh juga memberi otoritas untuk mengajarkan semua ilmu-ilmu Hadits, Tafsir, Sufisme, dan Amalan Harian (awrad). Beliau hafal isi buku Ithna `Ashari (Dua Belas Imam), buku pegangan tentang ilmu pengetahuan dari para penerus Sayyidina `Ali  ra.

Beliau pindah ke Baghdad pada tahun 1228 H/1813 M untuk kedua kalinya dan tinggal di sana di sekolah Ahsa'iyya Isfahaniyyah. Beliau mengisinya dengan pengetahuan tentang Allah dan Jalan untuk Mengingat-Nya. Tetapi sekelompok orang yang iri menulis sebuah surat tentang hal yang bertentangan mengenai beliau dan dikirimkan kepada Sultan Sa`ad Pasha, gubernur Baghdad. Mereka mengkritiknya, mengecapnya sebagai orang yang sesat dan banyak lagi hal lain yang tidak bisa diulangi. Ketika gubernur membaca surat itu, dia berkata, “Jika Syaikh Khalid al-Baghdadi bukan seorang mukmin, lalu siapa yang mukmin”, Gubernur lalu mengusir mereka dan memenjarakannya.

Syaikh meninggalkan Baghdad selama beberapa waktu lalu kembali lagi untuk ketiga kalinya. Beliau kembali ke sekolah yang sama yang telah dipugar untuk menyambut kedatangannya. Beliau mulai menyebarkan segala macam ilmu spiritual dan ilmu surgawi. Beliau membuka rahasia Kehadirat Ilahi, menerangi hati orang-orang dengan cahaya Allah yang diberikan ke dalam hatinya, hingga gubernur, para cendikiawan, guru-guru, pekerja, dan orang-orang dari segala bidang pekerjaan menjadi pengikutnya.

Pada masanya Kota Bagdad sangat terkenal dengan pengetahuannya, sehingga kota itu dinamakan , “Tempat dari Dua Ilmu Pengetahuan” dan “Tempat dari Dua Matahari”. Serupa dengan itu, beliau juga dikenal dengan sebutan, “Orang dengan Dua Sayap” (Dhu-l-Janahayn), sebuah perumpamaan karena penguasaannya di bidang ilmu eksternal dan internal. Beliau mengirimkan kalifahnya ke mana saja, mulai dari Hijaz ke Iraq, dari Syam (Syria) ke Turki, dari Iran ke India dan Transoxania, untuk menyebarkan jalan leluhurnya dalam tariqat Naqshbandi.

Kemana pun beliau pergi, orang akan mengundang ke rumahnya, dan rumah seperti apa pun yang dia kunjungi, akan mendapat berkah dan menjadi makmur. Suatu hari beliau mengunjungi Kubah Batu di Jerusalem dengan para pengikutnya. Beliau sampai di tempat itu dan kalifahnya, `Abdullah al-Fardi, datang menemuinya dengan kerumunan orang. Beberapa orang Kristen memintanya untuk masuk ke Gereja Kumama agar mendapat berkah dengan kehadirannya. Lalu beliau melanjutkan perjalanannya ke al-Khalil (Hebron), kota Nabi Ibrahim, Ayah dari semua Nabi dan Rasul , di sana disambut oleh semua orang. Beliau memasuki Masjid Ibrahim al-Khalil dan mengambil berkah dari temboknya.

Beliau pergi lagi ke Hijaz untuk mengunjungi Baitullah ( Ka`ba yang Suci) pada tahun 1241 H/1826 M. Banyak sekali murid dan kalifahnya yang menemani. Warga kota dengan para cendikiawan dan Wali juga mendatangi beliau dan semuanya melakukan bay?at dengannya. Mereka memberinya kunci untuk memasuki dua Kota Suci dan mereka mengangkatnya sebagai Syaikh Spiritual untuk kedua kota tersebut. Beliau lalu mengitari Ka’bah, tetapi yang sesungguhnya Ka’bah yang mengitari beliau.

Setelah haji dan kunjungannya kepada Makam Rasulullah saw, beliau kembali ke Syam ash-Sharif (Syria yang diberkati). Beliau sangat dihormati oleh Sultan Ottoman, Mahmud Khan, ketika beliau memasuki Syam, penyambutan yang meriah diadakan dan sebanyak 250.000 orang menyambutnya di pintu masuk kota. Semua cendikiawan, Mentri, Syaikh, fakir miskin dan orang-orang kaya datang untuk mendapatkan berkah dan meminta do’a darinya. Benar-benar merupakan suatu perayaan.

Para penyair melantunkan syair mereka, sementara itu orang kaya memberi makan yang miskin. Semua orang adalah sama di hadapan beliau. Beliau membangkitkan pengetahuan spiritual dan pengetahuan eksternal dan menyebarkan cahaya kepada semua orang, baik Arab maupun non-Arab yang datang dan menerima tariqat Naqshbandi dari tangannya.

Dalam 10 hari terakhir di bulan Ramadhan 1242 H/1827 M beliau memutuskan untuk mengunjungi Quds (Jerusalem) dari Damaskus. Para pengikutnya sangat bergembira dan berkata, “Alhamdulillah, kami akan melakukannya bila Allah memanjangkan umur kami, setelah Ramadhan, awal bulan Syawwal”. Mungkin itu adalah suatu tanda bahwa beliau akan meninggalkan dunia ini.

Pada hari pertama di bulan Syawwal, wabah penyakit mulai menyebar dengan cepat di kota Syam (Damaskus). Salah satu pengikutnya meminta beliau untuk mendo’akan dia agar diselamatkan dari wabah tersebut, dan menambahkan, dan untukmu juga, Syaikh. Beliau berkata, “Aku merasa malu kepada Allah, karena niatku memasuki Syam adalah untuk meninggal di Tanah Suci ini”.

Orang pertama yang meninggal karena wabah ini adalah putra beliau, Bahauddin, pada Jumat malam dan beliau berkata, “Alhamdulillah, ini adalah jalan kita”, lalu beliau menguburkannya di Gunung Qasiyun. Dia baru berusia lima tahun lewat beberapa hari. Anak itu sangat fasih dalam 3 bahasa, Persia, Arab, dan Kurdi, dan dia juga pandai membaca Al-Qur’an.

Lalu pada tanggal 9 Dzul-Qai`dah, anak lainnya, Abdur Rahman, meninggal dunia. Dia lebih tua dari saudaranya satu tahun. Mawlana Khalid memerintahkan murid-muridnya untuk menggali makam kembali untuk menguburkan anak keduanya. Beliau berkata, “Dari pengikutku akan banyak yang meninggal dunia.”

Beliau memerintahkan untuk menggali banyak lubang untuk para pengikutnya yang jumlahnya banyak, termasuk istri dan anak perempuannya, dan beliau memerintahkan untuk menyirami daerah itu dengan air. Lalu beliau berkata, “Aku memberi otoritas kepada Syaikh Isma`il ash-Shirwani untuk menggantikan Aku di Tariqat Naqshbandi.” Beliau mengucapkan hal ini pada tahun terakhirnya, 1242 H/1827 M.

Suatu hari beliau berkata, “Aku mendapat sebuah visi yang luar biasa kemarin, Aku melihat Sayyidina `Utsman Dhun-Nurayn seolah-olah dia telah meninggal dan Aku melakukan shalat untuknya. Dia lalu membuka matanya dan berkata, “Ini dari anak-anakku”. Dia menarikku dengan tangannya, membawaku kepada Rasulullah , dan mengatakan kepadaku untuk membawa seluruh pengikut Naqshbandi di masa sekarang dan yang akan datang sampai masa Imam Mahdi as, lalu dia memberi berkah untuk mereka semua. Setelah keluar dari visi itu, Aku melakukan shalat Maghrib dengan para pengikut dan anak-anakku.

“Apa pun rahasia yang kumiliki, telah kuberikan kepada deputiku Isma`il ash-Shirwani . Siapa saja yang tidak menerimanya berarti bukan golonganku. Jangan berargumen tetapi satukanlah pikiranmu dan ikuti pendapat Syaikh Isma`il . Aku menjamin siapa pun yang mengikutinya akan bersamaku dan bersama Rasulullah ."

Beliau memerintahkan mereka untuk tidak menangisinya, dan meminta mereka untuk mengorbankan hewan dan memberi makan orang miskin demi kecintaan Allah dan kemuliaan Syaikh. Beliau juga meminta mereka untuk mengirimkan hadiah berupa pembacaan Al-Qur’an dan bacaan dalam shalat. Beliau memerintahkan mereka untuk tidak menuliskan apapun di makamnya kecuali, “Ini adalah makam orang asing, Khalid.”

Setelah shalat Isya, Syaikh Khalid memasuki rumahnya, memanggil seluruh anggota keluarganya dan berkata kepada mereka, “Aku akan meninggal dunia pada hari Jumat.” Mereka tinggal bersamanya sepanjang malam. Sebelum Subuh beliau bangun, berwudhu dan melakukan shalat. Lalu beliau memasuki kamarnya dan berkata, “Tidak ada yang boleh memasuki kamarku kecuali orang yang telah kuperintahkan.” Beliau berbaring di sisi kanannya, menghadap kiblat dan berkata, “Aku telah terkena wabah penyakit. Aku membawa semua wabah yang menyerang Damaskus. Beliau mengangkat tangannya dan berdo’a, “Siapa pun yang terkena wabah itu, biarkan wabah itu mengenaiku dan bebaskan orang-orang di Syam.”

Kamis tiba dan seluruh kalifahnya memasuki kamarnya. Sayyidina Isma`il ash-Shirwani bertanya kepadanya,"Bagaimana keadaanmu? Beliau berkata, "Allah telah menjawab doaku. Aku akan membawa semua wabah yang melanda orang-orang di Syam dan Aku sendiri akan meninggal dunia pada hari Jumat.  Mereka menawarkan air, namun beliau menolak dan berkata, Aku meninggalkan dunia ini untuk bertemu Allah. Aku telah bersedia menanggung wabah dan membebaskan orang-orang di Syam yang telah terkena wabah itu. Aku akan meninggal dunia pada hari Jumat.

Beliau membuka matanya dan berkata, "Allahu Haqq, Allahu Haqq, Allahu Haqq," yang merupakan sumpah dalam bay’at tariqat Naqshbandi, lalu beliau membaca ayat 27-30 dari al-Qur’an surat al-Fajr: "Wahai jiwa yang tenang dan tentram. Kembalilah kepada Tuhanmu--merasa senang dan disenangi. Masuklah dalam hamba-hamba-Ku! Masuklah ke dalam Surga-Ku!"

Kemudian beliau menyerahkan nyawanya kepada Allah dan meninggal dunia, seperti yang telah diprediksi sebelumnya, pada hari Jumat 13 Dzul Qaidah 1242 H/1827 M. Mereka membawanya ke sekolah dan membasuhnya dengan air penuh cahaya. Mereka mengkafaninya sementara yang lain berdzikir, khususnya Syaikh Isma`il ash-Shirwani , Syaikh Muhammad , dan Syaikh Aman . Mereka membaca al-Qur’an dan pagi harinya mereka membawa jenazahnya ke masjid di Yulbagha.

Syaikh Isma`il ash-Shirwani meminta Syaikh Aman `Abdin untuk melakukan shalat jenzah baginya. Masjid itu tidak cukup untuk menampung seluruh orang yang hadir. Lebih dari 30.000 orang shalat di belakangnya. Syaikh Isma`il berjanji kepada mereka yang tidak dapat melakukan shalat jenazah di masjid itu, bahwa dia akan melakukan shalat jenazah yang kedua kalinya di makam.

Mereka yang memandikannya ikut pula mengantarkan ke makamnya. Hari berikutnya, Sabtu, seakan-akan terjadi keajaiban di Syam, wabah penyakit tiba-tiba menghilang dan tidak ada lagi orang yang meninggal dunia. Mawlana Khalid menyerahkan Rahasianya kepada penerusnya, Syaikh Isma’il ash-Shirwani .

Wa min Allah at Tawfiq


 * Hari ini 19 September 2013, atau 13 Dzul Qaidah adalah hari wafatnya (Haul) Syaikh Khalid al-Baghdadi qs, fatihah




Tuesday, September 17, 2013

I'tidal dan Qunut dalam Sholat

I'tidal dan Qunut dalam Sholat

I’tidal adalah berdiri kembali pada posisi semula setelah melakukan ruku’ secara sempurna. Ketika bangun dari ruku’ hendaknya mengangkat kedua tangan dan mengucapkan:
“Allah Ta’aala Maha Mendengar kepada semua hamba yang memuji-Nya.”
Mengenai tata cara i’tidal, di dalam shahih al-Bukhari disebutkan:
“Berkata Abu Humaid as-Sa’idi, aku senantiasa menjaga sholat bersama Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, aku melihat beliau apabila bertakbiratul-ihram, beliau mengangkat tangan hingga lurus pada dua pundaknya. Apabila ruku’ menempatkan kedua tangan di lutut kemudian meluruskan punggungnya. Pada saat I’tidal mengangkat kepalanya sehingga seluruh ruas anggota tubuhnya kembali ke posisi semula.Ketika sujud meletakkan kedua tangan, tidak dibentangkan atau dirapatkan, dan ujung jari-jemari kaki dihadapkan ke arah kiblat. Ketika duduk pada rakaat kedua, beliau duduk pada kaki kiri dan meluruskan yang kanan, dan pada saat duduk di rakaat terakhir, beliau memasukkan kaki kirinya dan duduk di lantai tempat tempat sholat.” (Shahih al-Bukhari, juz 3, halaman: 324 [785])
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Maslamah, dari Malik, dari Nu’aim bin Abdillah al-Mujmir, dari Yahya bin Khallad az-Zuraqi, dari ayahnya, dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi, ia berkata: Pada suatu ketika kami sholat di belakang Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, pada saat beliau Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bangun dari ruku’ beliau mengucapkan {Sami’allaahu liman hamidah} . Kemudian ada seorang laki-laki di belakang beliau Shollallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan: {Rabbanaa wa lakal-hamdu, hamdan katsiiran thoyyiban mubaarokan fiihi} . Maka setelah selesai sholat, Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Siapa yang mengucapkan kalimat tadi?’. Lelaki tersebut menjawab: ‘Saya’. Selanjutnya beliau Shollallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Sungguh aku melihat 30 malaikat saling berebutan untuk menuliskan pahalanya.’ “(Shahih al-Bukhari, juz 3, halaman 277 [757])
Pada saat posisi berdiri tegak, kedua tangan dalam posisi lurus ke bawah, tidak digerak-gerakkan maupun digoyang-goyangkan, dan tidak pula dengan posisi bersedekap.
“Diriwayatkan dari Waki’ ia berkata: diriwayatkan dari Abdussalam bin Syidad Abu Thalut al-Jariri, dari Ghazwan bin Jarir adh-Dhabbiy, dari ayahnya, ia berkata: bahwasanya Sayyiduna Ali Radhiyallaahu ‘anhu ketika beliau melaksanakan sholat meletakkan tangan kanan di atas pergelangannya. Dan hal itu terus dilakukan hingga beliau melakukan ruku’ kecuali untuk memperbaiki posisi pakaian serta menggaruk badannya.” (Mushannaf ibn Abi Syaibah, juz 2, halaman 401)
Dari hadits tersebut diketahui bahwasanya Sayyidina Ali Radhiyallaahu ‘anhu sebagai shahabat terdekat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dan banyak mengetahui sholatnya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau hanya bersedekap ketika berdiri sampai ruku’ saja.
Kalimat “فلا يزال كذلك حتى يركع” yang maknanya “Beliau senantiasa bersedekap hingga beliau ruku’” menunjukkan bahwa sampai batas itulah bersedekap yang dianjurkan di dalam sholat, karena tidak ada dalil yang menunjukkan kesunnahan bersedekap ketika I’tidal. Hal ini disebutkan oleh Syaikh Hasan bin Ali as-Saqafi di dalam kitabnya Shahih Sifat Sholat an-Nabi:
“Dan makruh bagi orang yang sholat kemudian ia meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di waktu I’tidal bangun dari ruku’, sebagaimana banyak dilakukan oleh sebagian orang-orang yang taklid buta. Sungguh tiada dalil atas hal yang demikian ini.” (Shahih Sifat Shalat an-Nabi halaman 163)
Selanjutnya setelah sempurna berdiri, disunnahkan untuk membaca do’a:
“Tuhan kami, bagi Engkau seluruh pujian sepenuh langit, bumi dan segala sesuatu yang Engkau kehendaki sesudah itu.”
Di dalam kitab Shahih Muslim, disebutkan hadits yang menjelaskan bacaan do’a tersebut:
“Meriwayatkan Abu Bakr bin Abi Syaibah, meriwayatkan kepada kami Abu Mu’awiyah dan Waki’ dari al-A’masy dari Ubaid bin al-Hasan dari ibn Abi Aufa ia berkata: Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam ketika berdiri dari ruku’ membaca:
(Shahih Muslim, juz 3, halaman 16 [733])
Berdasarkan hadits tersebut, di dalam kitab Bidayah al-Hidayah, al-Imam al-Ghazali juga memberikan penjelasan:
“Kemudian angkatlah kepalamu hingga berdiri tegak. Dan angkat pula kedua tanganmu seraya mengucapkan { Sami’allaahu liman hamidah }. Dan ketika sudah tegak berdiri beliau membaca do’a { Robbanaa lakal-hamdu mil-us-samaawaati wa mil-ul-ardhi wa mil-u maa syi’ta min syai’in ba’du }.“ (Bidayah al-Hidayah, Halaman 46)
Khusus untuk sholat Shubuh, pada raka’at kedua setelah membaca do’a tersebut, disunnahkan untuk membaca do’a qunut. Imam al-Ghazali menjelaskan:
“Dan apabila engkau sedang sholat fardhu shubuh, maka hendaknya membaca do’a qunut di raka’at kedua ketika i’tidal dari ruku’.” (Bidayah al-Hidayah, halaman 46).
Membaca do’a qunut pada raka’at kedua sholat shubuh adalah sunnah di dalam madzhab asy-Syafi’iyyah, dan pendapat ini juga pendapat para shahabat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Di dalam kitab Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, imam Nawawi Rahimahullaahu Ta’aala menjelaskan:
“Di dalam madzhab kita (madzhab Syafi’iyyah) disunnahkan untuk membaca do’a qunut di dalam sholat shubuh. Baik ada bala’ maupun tidak, pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama salaf dan yang sesudahnya. Dan diantara yang berpendapat demikian adalah Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar ibn al-Khaththab, Utsman, ‘Ali, Ibn Abbas, dan al-Barra’ ibn Azib Radhiyallaahu ‘anhum. Demikian diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad Shahih.” (Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, juz 3, halaman 483)
Dalil yang dijadikan landasan pendapat ini adalah:
“Diriwayatkan dari Abdurrazzaq ia berkata, diriwayatkan dari Abu Ja’far (ar-Raziy) dari ar-Rabi’ bin Anas dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa membaca do’a qunut di waktu sholat shubuh hingga wafat beliau.” (Musnad Ahmad, juz 25, halaman 242[12196])
“Diriwayatkan dari Anas bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam membaca do’a qunut selama satu bulan kemudian beliau menghentikannya. Adapun di dalam sholat Shubuh beliau senantiasa membaca do’a qunut hingga wafat beliau.” (Sunan ad-Daruquthni, juz 4, halaman 399[1712])
Sanad hadits ini adalah shahih, sehingga dapat dijadikan hujjah. Imam Nawawi menjelaskan hal ini di dalam kitabnya Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab:
“Hadits yang diriwayatkan dari Anas adalah hadits shahih yang diriwayatkan dari banyak huffazh ahli hadits dan mereka menyatakan akan keshahihannya, diantara yang menyatakan shahih adalah al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Balkhi, al-Hakim Abu Abdillah di beberapa tempat di kitabnya dan al-Baihaqi. Dan diriwayatkan pula oleh ad-Daruquthni dari jalur ini dengan sanad shahih. Dari al-Awwam bin Hamzah ia berkata: `Aku bertanya kepada Abu Utsman mengenai bacaan qunut di dalam sholat shubuh. Beliau menjawab: ia dilakukan setelah ruku’. Aku bertanya lagi: Siapa yang menyatakan demikian? Beliau menjawab: dari Abu Bakr, Umar, Utsman radhiyallaahu ‘anhum.’ Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan beliau berkata: Sanad hadits ini Hasan. Dan meriwayatkan pula al-Baihaqi dari Umar  melalui jalur ini. Dan dari Abdullah bin Ma’qil seorang Tabi’in, ia berkata: `Sayyiduna Ali Radhiyallaahu ‘anhu senantiasa membaca do’a qunut di waktu sholat shubuh.` Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan beliau berkata: riwayat dari Sayyidina Ali ini shahih. Dan dari al-Bara’ Radhiyallaahu ‘anhu ia berkata: `Bahwasanya Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam membaca qunut di waktu sholat shubuh dan maghrib` –diriwayatkan oleh Muslim, dan juga oleh Abu Dawud namun beliau tidak menyebutkan kata “maghrib” di dalam riwayatnya.—Dan tidak mengapa meninggalkan qunut di waktu sholat maghrib dikarenakan ia bukan kewajiban’. ” (Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, juz 3, halaman 484)
Bacaan do’a qunut yang masyhur diajarkan langsung oleh Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam adalah do’a qunut yang diriwayatkan oleh Sayyiduna Hasan bin Ali bin Abi Thalib:
“Ya Allah, berikanlah kami petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah kami kesehatan seperti orang-orang yang Engkau beri kesehatan. Berilah kami perlindungan seperti orang-orang yang Engkau beri perlindungan. Berilah berkah terhadap segala sesuatu yang Engkau berikan kepada kami. Jauhkanlah kami dari segala kejahatan yang Engkau pastikan. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Menentukan dan Engkau tidak dapat ditentukan. Dan tidak akan hina orang yang Engkau lindungi. Dan tidak akan mulia pula orang-orang yang Engkau musuhi. Sungguh Engkau Sang Maha Pemberi Berkah dan Maha Luhur.” (Sunan Abi Dawud, juz 4, halaman 210).
Disebutkan pula di dalam Sunan an-Nasa’i dengan penambahan bacaan sholawat وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ } di akhir do’a qunut. (Sunan an-Nasa’i, juz 6, halaman 259).
Dijelaskan pula oleh Syekh Nawawi al-Bantani di dalam kitabnya Maraqi al-Ubudiyyah bahwasanya dianjurkan untuk membaca sholawat kepada Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam di akhir do’a qunut.
“Akan tetapi lebih utama untuk membaca do’a qunut yang diajarkan oleh Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam:
” (Maraqi al-Ubudiyyah)

Nabi (saw) Tidak Buta Huruf

Nabi (saw) Tidak Buta Huruf
Mawlana Syekh Hisyam Kabbani
13 Oktober 2010 Fenton Zawiya, Michigan
 
Mawlana Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani qs

Suhbah Sebelum Salaat al-`Isya

A`uudzu billahi min asy-Syaythaani 'r-rajiim. Bismillahi 'r-Rahmaani 'r-Rahiim.Nawaytu 'l-arba`iin, nawaytu 'l- itikaaf, nawaytul-khalwah, nawaytul`uzlah,nawaytu'r-riyaadhah, nawaytu's-suluuk, lillahi ta`ala fii haadzal masjid

Athi`ullaha wa athi`u 'r-Rasuula wa uuli 'l-amri minkum.
Patuhi Allah, Patuhi Nabi, dan patuhi mereka yang memiliki wewenang di antara kalian. (4:59)

Allah (swt) berfirman:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

Huwal-ladzii ba`atsa fi 'l-ummiyyiin rasuulan minhum, yatlu `alayhim ayaatihi wa yuzakkiihim wa yu`alimahumu 'l-kitaaba wa 'l-hikmata wa in kaanuu min qablu lafii dhallaalim mubiin.

Dialah yang membangkitkan di antara penghuni Mekah seorang Nabi di antara diri mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka komunikasi-Nya dan mensucikan mereka, dan mengajari mereka kitab dan hikmah, meskipun sesungguhnya mereka dalam kesesatan yang nyata." (al-Jumu'ah: 62:2,3)

Disini Allah (swt) berfirman, Dialah yang mengirim dari antara ummiyyuun seorang rasul, "Dan Aku akan memerintahkan seorang rasul dari antara mereka yang ummiyy." Allah (swt) memberi tahu kita, Nabi (saw) membaca ayat-ayat-Nya dari al-Qur'an Karim dan yuzakkiihim, "mensucikan mereka," artinya para Sahabat (ra), dan beliau mengajari mereka kitab dan hikmah.

Lalu bagaimana Nabi (saw) dikatakan ummiyy? Makna standard yang digunakan kebanyakan ‘ulama untuk menggambarkan ummiyy adalah "buta huruf," dan kita semua mengatakan Nabi (saw) adalah ummiyy, buta huruf. Namun dalam makna bagaimana kita menerima gambaran tentang beliau (saw) sebagai seorang yang buta huruf? Kita hanya dapat menerima itu dibandingkan dengan Ilmu Ilahiah Allah, namun tidak jika dibandingkan dengan pengetahuan manusia, karena beliau (saw) tidaklah buta huruf di antara manusia.

Itu artinya Nabi (saw) memerlukan lebih banyak lagi, karena yang dimilikinya adalah laksana setetes air dari samudra.

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ
Qul innamaa anaa basyarun mitslukum.
Katakan (Wahai Muhammad), "Aku hanya seorang manusia seperti kalian."

قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادا ً لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي (Surat al-Kahf, 18:110)

Qul law kaana al-bahru midaadaan li-kalimaati rabbii la-nafida 'l-bahru qabla an tanfada kalimaatu rabbii.
Katakan (Wahai Muhammad), "Dan jika laut adalah tinta dan pepohonan sebagai pena, mereka semua akan habis sebelum mereka menuliskan Kalam Ilahi." (Surat al-Kahf, 18:109)

Jadi Nabi (saw) sama sekali berbeda dari saya dan kalian. Ummiyy adalah seseorang yang tidak tahu bagaimana membaca dan menulis, namun kata pertama yang diungkapkan al-Qur'an Karim adalah iqraa, "Baca!" (al-'Alaq, 96:1), jadi bagaimana beliau (dikatakan) buta huruf, jika kata pertama adalah "baca"? Apa ini artinya ketika Allah berkata kepada Sayyidina Muhammad (saw), "Bacalah, dengan nama Penciptamu yangmenciptakan!" Allah secara langsung memberi Nabi (saw) kekuatan untuk membaca rahasia dari semua ciptaan!

Karena Allah (swt) memerintahkan Rasul-Nya untuk "membaca," bagaimana beliau menjadi ummiyy, ketika akar kata itu adalah isamma, "seseorang yang memimpin." Kalian tidak dapat memimpin jika tidak memiliki pengetahuan! Amma artinya beliau adalah seseorang yang kepemimpinannya dibutuhkan oleh semua orang. Itulah sebabnya kata umm, "ibu," dalam Bahasa Arab artinya semua anak memerlukan ibunya.

Kalian bisa tanpa ayah, tetapi kalian tidak bisa tanpa ibu. Jika ayah meninggalkan kalian, ibu akan memelihara kalian, namun bila ibu meninggalkan kalian, ayah tidak dapat memelihara kalian, ia tidak dapat menyusui kalian; (karena) ia tidak memiliki susu, jadi bagaimana ia akan menyusui kalian?.

Pada masa itu tidak terdapat susu formula untuk bayi atau botol menyusui. Ibu akan menyusui kami, jadi segera setelah seorang bayi terlahir dia memerlukan ibunya agar dapat asupan makanan, jadi ia akan lari (ungkapan) ke ibunya. Lagi pula, tanpa ibu adalah mustahil menjadi seorang lelaki! Juga muncul dari akar kata amma, ummiyy, adalah kata imaam, jadi Nabi (saw) adalah "seseorang yang dikirim sebagai imaaman rasuula"seorang rasul untuk ummiyy, mereka yang memerlukan pimpinan. Seorang rasul, "utusan," membawa sebuah risalah, jadi bagaimana beliau buta huruf?

Wahai ‘ulama, kita harus sangat berhati-hati! Ya, kita katakan bahwa Nabi (saw) adalah buta huruf ketika dibandingkan dengan Ilmu Ilahiah Allah, namun dibandingkan dengan manusia, beliau (saw) memiliki `Uluumu'l- Awwaliin wa 'l-Akhiriin, Ilmu tentang Awal dan Akhir (sebelum dan sesudah hidup ini).

Dari akar kata itu, amma, juga datang kata tayammum, ketika kalian punya air untuk wudu dan kalian melakukan wudu kering. Mengikuti apa yang perlu diikuti, fi 'l-ummiyyiin, mereka yang adalah ammuu li Sayyidina Muhammad, mengikuti Sayyidina Muhammad (saw) dalam apa pun yang diberikan kepada mereka.

Itulah sebabnya Allah (swt) berkata, "Bacalah, yaa Muhammad, karena mereka buta huruf, bukan engkau!". Kalian dapat mengatakan, amma al-Ka`aba, "Ia bergerak menuju Ka`aba." Amma ad-daar, "Ia mencapai rumah." Jadi mereka mengatakan amma an-nabi, "Mereka datang kepada Nabi (saw) (kepada pimpinan)." Jadi dalam referensi terhadap Nabi (saw), ummiyy tidaklah berarti, "buta huruf," itu artinya ammuu,"(karena mereka tidak tahu apa-apa) mereka mendatangi seseorang, itu yang akan membimbing mereka kepada keselamatan."

Itulah Sayyidina Muhammad (saw)! Kita juga mengatakan al-umm, "ibu." Ketika didasarkan pada akar kata ummiyy, itu artinyaseseorang yang tahu membaca dan menulis, dan dengan akar kata amma, itu artinya bahwa wanita itu adalah seseorang yang dibutuhkan oleh anak-anak. Kata itu tidak memiliki makna kalau ia tidak tahu bagaimana membaca dan menulis. Jadi dari ummiyy, akar kata "mengambil pimpinan," yang berarti Nabi (saw) mengambil (posisi sebagai) pimpinan bagi keseluruhan umat manusia.

Saya tidak akan membahas terlalu jauh ke dalam hal ini; saya memandang makna itu dan insya-Allah kita akan membahas ini di waktu mendatang. Semoga Allah (swt) mengaruniai kita pemahaman tentang kebesaran Sayyidina Muhammad (saw)! Ini hanyalah sebuah isyarat atau alasan kerumitan bahasa Arab, bagaimana pada masa Nabi (saw) mereka memahami pengetahuan yang dibuka Allah (swt) dari berbagai sudut yang berbeda.

Nabi (saw) tidaklah buta huruf, namun beliau adalah seseorang yang mengatakan, Allahuma laa takilnii ila nafsii tarfata `ayn, "Wahai Tuhan kami! Janganlah tinggalkan kami dengan ego kami bahkan hanya untuk sekejap mata!" Ini menunjukkan bahwa beliau (saw) adalah buta huruf jika dibandingkan dengan Pengetahuan Ilahiah, tetapi tidak kalau dibandingkan dengan kita.

Kita harus memahami hal itu. Itu adalah sebuah samudra besar dan hakikat besar muncul bersama dengan Sayyidina Mahdi (as), yang kami berharap bisa bersama dan bertemu beliau!

Wa min Allahi 't-tawfiiq, bi hurmati 'l-habiib, bi hurmati 'l-Fatihah.

Sunday, September 15, 2013

RASULULLAH SAW. SELALU ADA DI SAMPINGMU WALAU TAK JUMPA DALAM MIMPIMU

RASULULLAH SAW. SELALU ADA DI SAMPINGMU WALAU TAK JUMPA DALAM MIMPIMU

“Kisah Perjumpaan Al-Habib Mundzir bin Fuad Al-Musawa dengan Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith (Madinah)”

RASULULLAH SAW. SELALU ADA DI SAMPINGMU WALAU TAK JUMPA DALAM MIMPIMU

“Kisah Perjumpaan Al-Habib Mundzir bin Fuad Al-Musawa dengan Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith (Madinah)”

Kalau bukan karena ingin menyemangati, saya tak akan menjawabnya. Ruh beliau Saw. senantiasa hadir dalam majelis Maulid adh-Dhiya’ al-Lami’. Banyak para jamaah bermimpi melihat Ahlul Badr, Ahlul Uhud, para wali masa lalu, bahkan para nabi, hadir di majelis Maulid adh-Dhiya’ al-Lami’. Ruh Rasul Saw. sudah ada sebelum 1 orang pun sampai dan tidak keluar sebelum tak tersisa 1 orang pun.

Ketika saya sudah lama bertahun-tahun tidak jumpa dengan al-Habib Zein bin Smith Madinah, karena beberapa kali beliau ke Indonesia saya tak sempat jumpa, maka ketika jumpa saya tertunduk-tunduk mencium tangan beliau. Maka al-Habib Zein dengan santainya berkata: “Ahlan wahai Mundzir.”

Saya berkata: “Wahai Habibana Zein, bagaimana Habib masih kenal nama saya padahal saya lama tak jumpa Habibana?”

Beliau menjawab: “Bagaimana aku lupa namamu, kau tiap malam ada di hadirat Rasulullah Saw.” 

Hampir saya jatuh pingsan mendengar ucapan itu, dan beliau dengan santainya pergi begitu saja menghadapi tamu-tamu lain.

Pahala agung, ketika Anda rindu pada Rasul Saw., saat itulah Rasul Saw. sedang rindu pada Anda. Saya mempunyai teman di suatu wilayah yang sangat rindu dengan Rasul Saw. dan terus menangis jika mendengar kisah Rasul Saw. Namun ia belum juga mimpi Rasul Saw.

Lalu saya bermimpi, bahwa Rasul Saw. berpesan: “Katakan pada pemuda itu tiap kalau ia menangis merindukanku, aku ada di sampingnya, dan aku tidak meninggalkan ranjangnya sampai ia tidur pulas. Namun ketentuan pertemuan adalah di tangan Allah Swt.”

Orang yang rindu pada Rasul Saw. maka ia telah dirindukan oleh Rasul Saw.

Sya’roni As-Samfuriy, Cipayung 07 September 2013

http://www.muslimedianews.com/2013/09/kisah-perjumpaan-al-habib-mundzir-bin.html
http://pustakamuhibbin.blogspot.com/2013/09/rasulullah-saw-selalu-ada-di-sampingmu.html

Kalau bukan karena ingin menyemangati, saya tak akan menjawabnya. Ruh beliau Saw. senantiasa hadir dalam majelis Maulid adh-Dhiya’ al-Lami’. Banyak para jamaah bermimpi melihat Ahlul Badr, Ahlul Uhud, para wali masa lalu, bahkan para nabi, hadir di majelis Maulid adh-Dhiya’ al-Lami’. Ruh Rasul Saw. sudah ada sebelum 1 orang pun sampai dan tidak keluar sebelum tak tersisa 1 orang pun.

Ketika saya sudah lama bertahun-tahun tidak jumpa dengan al-Habib Zein bin Smith Madinah, karena beberapa kali beliau ke Indonesia saya tak sempat jumpa, maka ketika jumpa saya tertunduk-tunduk mencium tangan beliau. Maka al-Habib Zein dengan santainya berkata: “Ahlan wahai Mundzir.”
Saya berkata: “Wahai Habibana Zein, bagaimana Habib masih kenal nama saya padahal saya lama tak jumpa Habibana?”

Beliau menjawab: “Bagaimana aku lupa namamu, kau tiap malam ada di hadirat Rasulullah Saw.”
Hampir saya jatuh pingsan mendengar ucapan itu, dan beliau dengan santainya pergi begitu saja menghadapi tamu-tamu lain.

Pahala agung, ketika Anda rindu pada Rasul Saw., saat itulah Rasul Saw. sedang rindu pada Anda. Saya mempunyai teman di suatu wilayah yang sangat rindu dengan Rasul Saw. dan terus menangis jika mendengar kisah Rasul Saw. Namun ia belum juga mimpi Rasul Saw.

Lalu saya bermimpi, bahwa Rasul Saw. berpesan: “Katakan pada pemuda itu tiap kalau ia menangis merindukanku, aku ada di sampingnya, dan aku tidak meninggalkan ranjangnya sampai ia tidur pulas. Namun ketentuan pertemuan adalah di tangan Allah Swt.”

Orang yang rindu pada Rasul Saw. maka ia telah dirindukan oleh Rasul Saw.

Sya’roni As-Samfuriy, Cipayung 07 September 2013

http://www.muslimedianews.com/2013/09/kisah-perjumpaan-al-habib-mundzir-bin.html
http://pustakamuhibbin.blogspot.com/2013/09/rasulullah-saw-selalu-ada-di-sampingmu.html

Innalillaahi wa inna ilaihi rooji'un, Habib Munzir, Pimpinan Majelis Rasulullah Meninggal Dunia

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun..


Telah pulang kerahmatullah Pimp. Majlis Rosulallah Habibana Munzir Bin Fuad Almusawa.
Mohon keikhlasan nya membacakan Al fatiha khusus kan untuk Habib Munzir Bin Fuad Almusawa.

شكرا جَزَاكُمُ اللّهُ

وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


 ****

Habib Munzir, Pimpinan Majelis Rasulullah Meninggal Dunia


 Habib Munzir Almusawa, pimpinan Majelis Rasulullah meninggal dunia. Dia menghembuskan nafas terakhir di RSCM sore ini.

"Adinda Habib Munzir meninggal, mohon maafkan kesalahannya dan mohon doanya," tulis Habib Nabil Almusawa, kakak dari Munzir, dalam akun twitternya, Minggu (15/9/2013).

Saat diklarifikasi lebih jauh lewat telepon, Nabil belum bersedia memberi keterangan detail soal penyakit yang diderita adiknya. "Iya benar, mohon doanya," sambungnya via sms kepada detikcom.
Kantor Majelis Rasulullah di Pancoran saat dikontak juga tengah berduka. Sambil menangis, salah seorang pengurus mengatakan, seluruh jamaah sedang berkumpul di rumah sakit.

Majelis Rasulullah adalah salah satu kelompok pengajian yang cukup populer di Jakarta. Majelis ini didirikan pada tahun 1998 oleh Habib Munzir.

Dalam setiap pengajian, jumlah jamaah yang hadir mencapai ribuan bahkan puluhan ribu. Sejumlah tokoh politik pun kerap terlihat dalam beberapa acara pengajian, mulai dari Presiden SBY hingga beberapa nama terkenal lainnya.

 *******

Suatu ketika dalam sebuah kesempatan, Habibana Munzir bin Fuad Almunsawa (2010/09/05):
"..namun saya sangat mencintai Rasul saw, menangis merindukan Rasul saw, dan sering dikunjungi Rasul saw dalam mimpi, Rasul saw selalu menghibur saya jika saya sedih, suatu waktu saya mimpi bersimpuh dan memeluk lutut beliau saw, dan berkata wahai Rasulullah saw aku rindu padamu, jangan tinggalkan aku lagi, butakan mataku ini asal bisa jumpa dg mu.., ataukan matikan aku sekarang, aku tersiksa di dunia ini,,, Rasul saw menepuk bahu saya dan berkata : munzir, tenanglah, sebelum usiamu mencapai 40 tahun kau sudah jumpa dg ku.., maka saya terbangun.. "


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...