Mencari Wasilah (Perantara), Kisah Syaikh Ahmad Badawi dan Syaikh Magribi. (Dari Siapa Kita Dapat Mengambil Tariqah )
Qutub Mutassarif Mawlana Shaykh Muhammad Hisham Kabbani qs
Senin 24 Agustus 2009 | Fenton USA
A`udzu
billahi min 'asy-Syaythani 'r-rajiim. Bismillahi 'r-Rahmani 'r-Rahiim.
`Athi Allah wa `athi'ur Rasul wa uli' l-amri minkum.Taati Allah, taati
Rasul dan orang yang diberikan otoritas atas diri kalian.
Kita
membicarakan dari mana kita dapat mengambil tariqah; siapa yang dapat
mengajar dan memberi bay'at'. Ada sebuah tanya-jawab antara Sayyidina
Abdul-Khaliq al-Ghujdawani Qaddasallahu Sirrahu dan seorang tamunya,
Syekh Abdur-Rahiim al-Maghribi dari Maroko, yang telah belajar di bawah
bimbingan Sayyidina Nabi Khidir (as) selama sembilan tahun, menerima
berbagai macam Ilmu Ilahi. Dan dari tanya-jawab mereka, kita dapat
mempelajari karakteristik siapa seseorang itu dan dari mana kalian dapat
belajar.
Ketika kalian ingin belajar tentang Al-Quran, kalian
tidak dapat mengajari diri kalian sendiri; kalian dapat menghapalnya,
tetapi itu bukanlah jalan yang benar. Kalian harus belajar dari
seseorang yang mempunyai otoritas untuk mengajar Al-Quran, seorang
Qaari, karena mereka mengetahui cara pengucapan yang benar, tajwiid,
tartiil, dan semua aturan pembacaan khusus lainnya, bagaimana setiap
huruf diucapkan. Mereka telah dilatih melalui serangkaian pembaca Quran
berijazah yang semuanya sampaii kepada para Imam Mazhab dan sampai
kepada generasi Sahabat, yang belajar Al-Quran dari Nabi Muhammad
(sallallahu alayhi wasalam).
Serupa dengan itu, dalam ajaran
spiritual kalian harus mengambil dari seseorang yang telah
mempelajarinya dari gurunya dan seterusnya hingga sampai pada Sahabat
dan Nabi (saw). Kalian tidak bisa mengambilnya begitu saja dari
seseorang; kalian harus mengambilnya dari seseorang yang telah merasakan
dari Realitas, dan ia akan meletakkan (Ilmu Ilahiah) di lidah kalian
dan di dalam hati kalian.
Sebagaimana yang kita katakan dalam
sesi sebelumnya, Syekh Abdur-Rahiim Maghribi bertanya, "Dari mana engkau
mengambil tariqah ini? Apakah dari seorang wali yang dapat bicara
dengan orang-orang mati dari Timur ke Barat?" dan Sayyidina Abdul-Khaliq
al-Ghujdawani Qaddasallahu Sirrahu menjawab, "Tidak!" Lalu ia bertanya,
"Apakah dari wali yang tahu segala sesuatu di alam semesta, yang memuji
dan mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta`ala dari Timur ke Barat?
Dapatkah aku mengambil tariqah darinya? Dapatkah aku belajar dengannya?"
Dan sekali lagi Sayyidina Abdul-Khaliq al-Ghujdawani Qaddasallahu
Sirrahu menjawab,"Tidak."
Lalu Abdur-Rahiim al-Maghribi tidak
tahu lagi harus berkata apa. Jika kau tidak bisa mengambil dari wali itu
dan tidak juga dari wali yang satunya lagi, lalu siapa yang memenuhi
syarat untuk memberinya tariqah? Kita tidak bicara tentang hal-hal yang
berhubungan dengan ulama, di mana kalian dapat mengambil ilmu dari siapa
saja. Di dalam tariqah ada batasan-batasan dan Wali yang tidak
mempunyai
hak atau otoritas tidak dapat mengajar dan ia akan diam.
Banyak awliya yang tidak diketahui atau dikenal orang-orang, mereka
diam.
Apa manfaat dari ajaran seorang Wali bila ia tidak dapat
mengangkat kalian sampai pada levelnya? Itulah sebabnya ketika
Grandshaykh Abdullah faiz ad-Daghestani qs, semoga Allah memberkatinya,
diminta untuk menerima tanggung jawab mneneruskan kepemimpinan bagi
tariqah, beliau berkata, "Aku tidak menginginkan tanggung jawab itu."
Syekh beliau, Syekh Syarafuddin Qaddasallahu Sirrahu, berkata, "Tak
seorang pun diperintahkan untuk membawa tariqah kecuali dirimu, mengapa
kau mengatakan 'tidak'?" Grandshaykh Abdullah berkata, "Apa manfaatnya
ya Sayyidii, jika aku tidak dapat mengangkat murid-murid ke levelku
ketika mereka duduk bersamaku?"
Jadi awliya tahu pentingnya
memberikan tariqah. Saya akan mengutip di akhir bagaimana buruknya
mendengar seseorang yang tidak mempunyai tanggung jawab untuk mengajar
tariqah, karena semua ajarannya akan menjadi negatif pada diri kalian,
karena ia tidak memenuhi persyaratan dalam memberikan tariqah.
Jadi
kemudian Syekh Abdur-Rahiim Maghribi menanyakan Sayyidina Abdul-Khaliq
al-Ghujdawani Qaddasallahu Sirrahu pertanyaan ketiganya, "Dapatkah aku
mengambil atau mempelajari tariqah dari seorang wali yang sanggup
mencapai bagian bawah Arasy dan semua level di bawahnya?" Itu artinya
bahwa wali itu telah mencapai kemampuan untuk sujud di bawah Singgasana
Allah Subhanahu wa Ta`ala. Dan Sayyidina Abdul-Khaliq al-Ghujdawani
Qaddasallahu Sirrahu tetap diam, lalu ia bertanya lagi, "Ya Sayyidi,
demi Allah, dapatkah aku mengambil tariqah dari seseorang yang mampu
mencapai level di bawah Arasy dan seluruh level di bawahnya?" Sayyidina
Abdul-Khaliq al-Ghujdawani Qaddasallahu Sirrahu kembali melihatnya dan
berkata, "Tidak."
Jika ini "tidak", dan ini "tidak", dan yang ini
"tidak", dari mana ia akan mengambil ilmu itu? Itu artinya apapun yang
kita bicarakan itu belum dari level yang benar untuk diajarkan, yang
artinya kalian belum memenuhi syarat untuk mengajarkan dan orang-orang
yang mendengar belum mendapat tariqah dari sisi yang benar--mereka
mengambil dari nama ajarannya, tetapi belum mengambil rahasia darinya.
Awliya berusaha untuk mendapat rahasia dari setiap kata yang mereka
ucapkan, untuk dicurahkan ke dalam hati kalian!
Kemudian ia
bertanya, "Bagaiama tentang orang yang telah mencapai alam semesta dan
tujuh langit dalam sekejap tanpa berpindah dari posisinya, dan ia dapat
berada di segala tempat yang Allah ciptakan? Dapatkah aku belajar
darinya dan mengambil tariqah?" Bagaimana menurut kalian, apa yang
Sayyidina Abdul-Khaliq Qaddasallahu Sirrahu katakan, ya atau tidak?
Beliau berkata, "Tidak!" Jadi,
lalu dari mana ia dapat mengambil
tariqah?! Kemudian Syekh Abdur-Rahiim Maghribi tidak mempunyai kata-kata
lagi, dan ia bertanya kepada Sayyidina Abdul-Khaliq al-Ghujdawani
Qaddasallahu Sirrahu, "Lalu kepada siapa aku akan menyerahkan diriku
sendiri? Siapakah orang itu yang dapat mengajarkan diriku?"
Sebelum
sampai di sana, ia tidak menyerahkan dirinya. Ia terus mengajukan
pertanyaan, menunjukkan bahwa ia mengetahui sesuatu, dengan bertanya,
"Dapatkah aku mengambil tariqah dari orang yang bisa menjangkau orang
mati, atau dari orang yang mengetahui tasbih seluruh ciptaan kepada
Allah?" Ia memuji egonya di sana. Ketika ia bertanya, "Dapatkah aku
mengambil dari orang yang bertasbih di
bawah Arasy?" Ia
memperlihatkan bahwa ia tahu semua level yang beragam dari para awliya
Allah. Ketika Sayyidina Abdul-Khaliq Qaddasallahu Sirrahu mengatakan
kepadanya, "tidak", barulah ia menyerah. Ia sampai pada titik di mana ia
sadar,"Ya Sayyidii, aku tidak tahu apapun."
Melalui pelajaran
itu, Sayyidina Abdul-Khaliq Qaddasallahu Sirrahu mengajarkan kepadanya,
"Jangan tunjukkan pengetahuanmu di hadapanku." Banyak orang yang bicara
terus; dan mereka senang menunjukkan bahwa mereka tahu segala hal. Dalam
kehidupan normal atau kehidupan spiritual, kita semua berusaha untuk
mengatakan bahwa kita tahu sesuatu. Dalam kehidupan normal, hal itu
tidak masalah, tetapi lebih baik diam dalam hadirat seorang Wali Allah.
Jangan bicara! Jika kalian bicara,kalian membuat suatu kesalahan. Jika
tidak bicara, kalian akan aman.
Orang yang memberi presentasi
senang untuk menunjukkan kehebatan dirinya sendiri; mereka tidak
berserah diri. Mereka bertanya, "Apakah kalian suka membuat presentasi?"
dan mereka berlomba-lomba untuk itu, agar mendapat ketenaran. Jika
kalian bertanya pada para Awliya Allah, "Apakah engkau ingin membuat
presentasi atau sebuah wawancara?" maka mereka akan menjawab "tidak."
Mereka tidak suka berbicara kecuali terpaksa. Jadi Syekh Abdur-Rahiim
Maghribi bertanya. "Apa yang akan kulakukan sekarang? Aku berusaha untuk
mengerahkan semua pengetahuanku untuk mengetahuinya."
Seperti
halnya kisah dengan Syekh Ahmad al-Badawi dari Mesir. Kalian tahu
ceritanya. Ia berdoa, "Bukalah Pintu-Mu, ya Rabbii!" dan seseorang
datang dan berkata, "Aku mempunyai kunci-kuncimu, berserahdirilah
padaku." Ia menjawab,"Memangnya siapa aku musti berserah diri padamu?!"
Berserah diri kepada Allah, baik, tetapi ada disiplinnya: pertama
berserah diri dulu kepada gurumu, lalu kepada Nabi (saw) dan kemudian
kepada Allah Subhanahu wa Ta`ala.
Jadi ia menjawab, "Aku hanya
akan mengambil kunci dari Sang Pembuat Kunci langsung!" Lalu orang itu
pergi. Berbulan-bulan kemudian Syaikh Ahmad al-Badawi mendengar sebuah
suara,"Apakah kau menginginkan kuncimu? Aku meninggalkannya pada seorang
Wali yang dahulu kau usir!" Jadi sekarang ia tahu bahwa ia harus
mengambilnya dari orang itu, tetapi egonya menghalanginya. Sayyidina
Ahmad al-Badawi mencari wali itu, ia berlari, berlari, berlari selama
enam bulan, dan itu mengajarkannya bersabar. Akhirnya wali itu muncul di
hadapannya.
Sayyidina Ahmad al-Badawi berkata, "Wahai saudaraku!
Dari mana saja engkau?" Wali itu menjawab, "Aku di sini, tetapi kau
tidak bisa melihatku.""Bisakah aku mendapatkan kunci-kunciku?" "Tidak,
sudah terlambat wahai saudaraku. Ketika aku datang dan menawarkannya
kepadamu, kau menolak. Sekarang kau menginginkannya, tetapi aku tidak
akan memberikannya; ada harga untuk itu." Sayyidina Ahmad al-Badawi
berkata, "Aku akan membayarnya dengan seluruh kekayaanku, hartaku dan
rumahku." "Kami tidak mengejar harta duniamu." "Lalu apa yang harus
kuberikan?"
"Aku menginginkan ilmumu, semua ilmu yang telah kau
ajarkan dan yang telah kau pelajari dari buku-buku dan amal ibadah yang
telah kau lakukan, Syaikh Ahmad Badawipun mengatakan 'Aku bersedia, aku
bersedia, aku bersedia.' Kau selalu menggunakan egomu dan membandingkan
segala sesuatu dengan dirimu. Aku menginginkan mengangkat keegoisan itu,
keegoisan dalam ilmu yang telah kau bangun dengan egomu."
Allah
berfirman di dalam Alquran suci: "Afaman assasa bunyaanahu `ala taqwa
mina Allahi wa ridwaanin khayrun am man assasa bunyaanahu `ala syafaa
jurufin haarin fanhara bihi fii naari jahannama wa Allahu laa yahdi
qawma azh-zhaalimiin"
Lalu manakah yang terbaik? - orang-orang
yang mendirikan masjidnya atas dasar taqwa kepada Allah dan rida-Nya? -
atau orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh,
lalu bangunannya itu jatuh bersamanya ke neraka Jahanam. Dan Allah
tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Surat Tawbah
[9:109]
Di tepi jurang itu akan jatuh ke neraka. Itu artinya
kalian tidak dapat membangun ilmu kalian melalui ego kalian, karena ego
akan dipotong bila kalian berada dalam tariqah. Karena ego akan runtuh,
baik cepat ataupun lambat. Jadi Wali itu berkata padanya "Aku tidak
dapat membiarkan kau memiliki ilmu ini."
Ahmad al-Badawi saat itu
merupakan Grand mufti di Tanta, daerah di Mesir, sangat terkenal, dan
dua juta orang mengunjungi makamnya setiap tahun. Wali itu berkata,
"Berikan ilmu itu kepadaku." Ahmad al-Badawi berkata, "Baiklah."
Kemudian Ahmad Badawi melihat ke dalam mata wali itu dan wali itu
menarik semua ilmunya keluar, bagaikan magnet menarik logam. Ia
meninggalkan Ahmad al-Badawi tanpa mengetahui apa pun, bahkan satu kata
pun, bahkan untuk membaca Surat al-Fatiha! Bila kalian melakukan
kesalahan dalam membaca Surat al-Fatiha, itu artinya awliya mengambil
pengetahuan itu. Jadi ia menarik segala sesuatu dari Ahmad al-Badawi
sampai ia tidak mengetahui apa-apa, hingga anak-anak mengejar dia
seperti orang gila, mengejeknya dengan berkata, "Dia tidak tahu apa-apa
lagi!"
Jika kalian kehilangan akal kalian, kalian akan baik-baik
saja. Setiap orang diseluruh dunia berpikir bahwa mereka mengetahui
sesuatu. Lihatlah, ketika Mawlana Syekh Nazim qs, semoga Allah
memanjangkan umurnya, memberikan nasihat harian melalui siaran langsung
di sufilive.com, orang-orang juga senang untuk mendengarkan. Mereka
menghentikan pekerjaan mereka, menghentikan semua kegiatannya hanya
untuk mendengar beliau. Mengapa? Karena pesan beliau mencapai hati
mereka dan mereka telah siap dalam menerima informasi itu.
Dan
setiap orang begitu gembiranya dan memuji Mawlana Syaikh Nazim dengan
pujian yang tinggi karena kecintaan mereka terhadapnya, karena mereka
tahu tanpa beliau mereka bukanlah apa-apa! Jadi mereka yang menyaksikan
siarannya setiap malam maka mereka sungguh beruntung. Bagi yang tidak
menyaksikan; jika mereka mempunyai alasan seperti karena pekerjaannya,
itu tidak apa-apa. Tetapi yang lainnya (tidak menyaksikan) karena
sombong dengan diri mereka dan disibukan urusan dunia. Menurut kalian,
memangnya kalian siapa? Apakah Mawlana membuang- buang waktunya untuk
siaran itu?!! Berikanlah paling tidak setengah jam dari waktu duniawi
kalian untuk melihat dan mendengar, itu lebih baik.
Jadi dalam
setiap hal, wali itu mengambil segala sesuatu dari Syaikh Ahmad
al-Badawi dan meninggalkannya selama enam bulan, dan anak-anak mengejar
dia sambil berkata, "Grand mufti kita menjadi gila!" Dan Ahmad Badawi
terus mencari wali itu, mencari dan mencari, sementara wali itu
menyembunyikan dirinya lagi. Kemudian ia muncul dan berkata, "Ya Ahmad!
Apakah engkau sudah siap?" Ia menjawab, "Aku siap." Setelah perjuangan
yang panjang. Ia mendengar suara yang mengatakan, "Ambil kunci itu
darinya." Jika ia menerimanya sejak awal, ia pasti telah mencapai level
yang lebih tinggi lagi dan tidak membuang waktunya sedemikian lama!
Wali
itu berkata, "Lihatlah mataku sekarang." Lalu ia mencurahkan apa yang
ada di dalam hatinya ke dalam mata Ahmad al-Badawi sampai ia tidak bisa
melihat lagi, hingga sorotan matanya bagaikan kilat, dan wali itu
membukakan Enam Realitas dari Hati, yang sebelumnya telah kita bicarakan
berulang kali: Realitas Daya Tarik (Haqiqatu Jazbah); Realitas
Mengantarkan Berkah (Haqiqatul Fayd); Realitas Memfokuskan (Haqiqatu
Tawajjuh); Realitas Perantaraan (Haqiqatu Tawassul); Realitas Bimbingan
(Haqiqatu Irshad); dan Realitas Menggulung -Folded Space, bumi dan waktu
terlipat (Haqiqatu at-Tayy). Setelah Wali itu mentransfer seluruh
pengetahuan surgawi itu, maka tak seorang pun dapat melihat ke dalam
mata Ahmad al-Badawi secara langsung, karena mereka akan pingsan bila
melihatnya. Sehingga setelah itu Syaikh Ahmad Badawi selalu menuntup
matanya dengan kain penutup kepalanya.
Abdur-Rahiim al-Maghribi
paham bahwa setiap pertanyaan yang ia ajukan, Syekhnya selalu mengatakan
"tidak". Segala sesuatu yang ia tanyakan, Sayyidina Abdul-Khaliq
al-Ghujdawani Qaddasallahu Sirrahu menjawabnya "tidak" untuk setiap
pertanyaan. Ia mengajukan lima pertanyaan, dan semuanya ditolak. Lalu ia
berkata, "Ya Sayyidii, ke mana aku harus memasrahkan diriku?" Ia lalu
mengerti, dan kemudian menjadi pasrah. Di luar itu, tak ada yang dapat
dicapai; jika kalian tidak berserah diri kepada kehendak syekh, kalian
tidak bisa melangkah ke mana-mana atau mencapai sesuatu.
Misalnya,
setiap hari Mawlana Syekh memberikan pelajaran dan banyak orang yang
menerjemahkannya ke dalam berbagai bahasa, dan jika kalian mendengar,
itu saja sudah cukup; jika kalian mengerti atau tidak, rahasianya
terpancar ke dalam hati kalian! Seperti halnya ketika komputer sedang
mengambil, memuat (upload) informasi, kalian melihat garis-garis hijau
mentransfer data (menunjukkan progres dari proses upload yang sedang
berjalan) atau kalian menulis pesan atau gambar atau suatu lampiran, dan
ketika kalian membukanya, lambat laun ia terbuka.
Tetapi di lain
waktu kalian ingin melihatnya lagi, dengan cepat ia terbuka, tidak
memerlukan waktu lama. Sama halnya, Mawlana Syekh Nazim qs mengisi
kalian dengan cahaya ini; kalian mungkin tidak memahaminya, tetapi
ketika waktunya tiba untuk dibuka, ia sudah berada di sana (pada diri
kalian). Kalian akan bergerak seperti roket menuju level yang mereka
ingin kalian capai. Sekarang kalian belum bisa diangkat; kalian mungkin
mendengar sebuah suhbah (ceramah) dan melupakannya, tetapi hati kalian
tidak melupakannya, dan hati kalian telah mengunduh (download) informasi
itu. Kalian telah mengunduhnya dan dalam waktu satu detik, kalian dapat
mengecek dan melihatnya.
Ketika saat download / mengunduh tiba
dan syekh memberi kalian kunci spiritual kalian, maka itu akan membuka
seluruh kata-kata bercahaya, rahasia ilmu yang beliau telah sampaikan
sebelumnya, dan kalian dapat melihat dari level mana beliau berkata, di
mana beliau berdiri, dan mengucapkan salam kepada Nabi (saw) dan
mengucapkan syahadah. Dari mana beliau berdiri? Di mana? Apakah Mawlana
Syekh berdiri di Lefke, di samping kursinya? Ketika beliau berdiri
mengucapkan salam kepada Nabi (saw), beliau berdiri di Hadirat Ilahiah
dari Nabi (saw). Dan ketika waktunya tiba, kalian akan melihatnya, apa
yang telah kalian dengar dari beliau akan tampak sebagai sebuah
Realitas.
Itu akan muncul ketika kalian berserah diri, tetapi
sekarang kita tidak berserah diri. Bahkan kalian melihat orang-orang
melakukan chatting. Mengapa mereka melakukan hal itu ketika Mawlana
Syekh sedang bicara? Lakukan chatting sebelum atau setelahnya. Bila
kalian berserah diri, maka komputer kalian akan siap untuk menerima
semua informasi yang dimasukkan (upload) ke dalam hati kalian.
Syekh
Abdur-Rahiim al-Maghribi berkata, madha afal, "Aku berserah diri. Apa
yang harus kulakukan; aku perlu jawaban. Aku datang kepadamu untuk
berserah diri. Kepada wali yang mana aku harus berserah diri?" Ia masih
melakukan kesalahan, karena ia belum menyadari: wali yang kau bicarakan
adalah yang bertanggung jawab atas dirimu! Dengan mengatakan, "Wali yang
mana," lebih baik
menjadi seorang pengembala dari pada biri-birinya.
Kau
menanyakan semua pertanyaan ini dan beliau terus mengatakan "tidak",
dan di saat akhir, ia masih bertanya, "Wali yang mana?" Banyak orang
seperti itu saat ini, mereka tidak berserah diri. Kalian tidak merasa
senang dengan Wali yang kalian bicarakan itu? Kita akan melanjutkannya
besok, insyaAllah. Bi hurmati l-Habiib, bi hurmati 'l-Fatiha.
Wa min Allah at Tawfiq
Note
: Sayikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani, qaddasa-l-Lahu sirrah adalah
Mursyid ke 11 dalam silsilah Naqshbandi Haqqani, beliau Sulthan Awliya
pada jamannya dan merupakan Imam Khatam Kawajagan pertama ketika seluruh
Awliya dikumpulkan di Gua Tsur ketika Rasulullah saw dan Abu Bakar ra
hijrah dari Makkah ke Madinah, disinlah pertama kali dzikir ini
dibacakan.
Mata Rantai Emas Naqshbandi Haqqani
1. Rasulullah Muhammad, shalla-Allahu `alayhi wa `alihi wa sallam
2. Abu Bakar ash-Shiddiq, radiya-l-Lahu `anh
3. Salman al-Farsi, radiya-l-Lahu `anh
4. Qassim bin Muhammad bin Abu Bakar, qaddasa-l-Lahu sirrah
5. Ja’far ash-Shadiq, alayhi-s-salam
6. Abu Yazid Tayfur al-Bistami, radiya-l-Lahu `anh
7. Abul Hassan Ali al-Kharqani, qaddasa-l-Lahu sirrah
8. Abu Ali al-Farmadi, qaddasa-l-Lahu sirrah
9. Abu Yaqub Yusuf al-Hamadani, qaddasa-l-Lahu sirrah
10. Abul Abbas, al-Khidir, alayhi-s-salam
11. Abdul Khaliq al-Ghujdawani, qaddasa-l-Lahu sirrah
12. Arif ar-Riwakri, qaddasa-l-Lahu sirrah
13. Khwaja Mahmoud al-Injir al-Faghnawi, qaddasa-l-Lahu sirrah
14. Ali al-Ramitani, qaddasa-l-Lahu sirrah
15. Muhammad Baba as-Samasi, qaddasa-l-Lahu sirrah
16. as-Sayyid Amir Kulal, qaddasa-l-Lahu sirrah
17. Muhammad Baha’uddin Syah Naqsyband, qaddasa-l-Lahu sirrah
18. Ala’uddin al-Bukhari al-`Attar, qaddasa-l-Lahu sirrah
19. Yaqub al-Charkhi, qaddasa-l-Lahu sirrah
20. Ubaydullah al-Ahrar, qaddasa-l-Lahu sirrah
21. Muhammad az-Zahid, qaddasa-l-Lahu sirrah
22. Darwisy Muhammad, qaddasa-l-Lahu sirrah
23. Muhammad Khwaja al-Amkanaki, qaddasa-l-Lahu sirrah
24. Muhammad al-Baqi bi-l-Lah, qaddasa-l-Lahu sirrah
25. Ahmad al-Faruqi asy-Syirhindi, qaddasa-l-Lahu sirrah
26. Muhammad al-Ma’sum, qaddasa-l-Lahu sirrah
27. Muhammad Sayfuddin al-Faruqi al-Mujaddidi, qaddasa-l-Lahu sirrah
28. as-Sayyid Nur Muhammad al-Badawani, qaddasa-l-Lahu sirrah
29. Syamsuddin Habib Allah, qaddasa-l-Lahu sirrah
30. Abdullah ad-Dahlawi, qaddasa-l-Lahu sirrah
31. Khalid al-Baghdadi, qaddasa-l-Lahu sirrah
32. Ismail Muhammad asy-Syirwani, qaddasa-l-Lahu sirrah
33. Khas Muhammad asy-Syirwani, qaddasa-l-Lahu sirrah
34. Muhammad Effendi al-Yaraghi, qaddasa-l-Lahu sirrah
35. Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni, qaddasa-l-Lahu sirrah
36. Abu Ahmad as-Sughuri, qaddasa-l-Lahu sirrah
37. Abu Muhammad al-Madani, qaddasa-l-Lahu sirrah
38. Syarafuddin ad-Daghestani, qaddasa-l-Lahu sirrah
39. Abdullah al-Fa’iz ad-Daghestani, qaddasa-l-Lahu sirrah
40. Muhammad Nazhim Adil al-Haqqani, qaddasa-l-Lahu sirrah