I’tidal adalah berdiri
kembali pada posisi semula setelah melakukan ruku’ secara sempurna.
Ketika bangun dari ruku’ hendaknya mengangkat kedua tangan dan
mengucapkan:
Mengenai tata cara i’tidal, di dalam shahih al-Bukhari disebutkan:
“Berkata Abu
Humaid as-Sa’idi, aku senantiasa menjaga sholat bersama Rasulullah
Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, aku melihat beliau apabila
bertakbiratul-ihram, beliau mengangkat tangan hingga lurus pada dua
pundaknya. Apabila ruku’ menempatkan kedua tangan di lutut kemudian
meluruskan punggungnya. Pada saat I’tidal mengangkat kepalanya sehingga seluruh ruas anggota tubuhnya kembali ke posisi semula.Ketika
sujud meletakkan kedua tangan, tidak dibentangkan atau dirapatkan, dan
ujung jari-jemari kaki dihadapkan ke arah kiblat. Ketika duduk pada
rakaat kedua, beliau duduk pada kaki kiri dan meluruskan yang kanan, dan
pada saat duduk di rakaat terakhir, beliau memasukkan kaki kirinya dan
duduk di lantai tempat tempat sholat.” (Shahih al-Bukhari, juz 3,
halaman: 324 [785])
“Diriwayatkan
dari Abdullah bin Maslamah, dari Malik, dari Nu’aim bin Abdillah
al-Mujmir, dari Yahya bin Khallad az-Zuraqi, dari ayahnya, dari Rifa’ah
bin Rafi’ az-Zuraqi, ia berkata: Pada suatu ketika kami sholat di
belakang Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, pada saat beliau Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bangun dari ruku’ beliau mengucapkan {Sami’allaahu liman hamidah} . Kemudian ada seorang laki-laki di belakang beliau Shollallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan: {Rabbanaa wa lakal-hamdu, hamdan katsiiran thoyyiban mubaarokan fiihi} .
Maka setelah selesai sholat, Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam
bertanya: ‘Siapa yang mengucapkan kalimat tadi?’. Lelaki tersebut
menjawab: ‘Saya’. Selanjutnya beliau Shollallaahu ‘alaihi wa sallam
berkata: ‘Sungguh aku melihat 30 malaikat saling berebutan untuk
menuliskan pahalanya.’ “(Shahih al-Bukhari, juz 3, halaman 277 [757])
Pada saat posisi
berdiri tegak, kedua tangan dalam posisi lurus ke bawah, tidak
digerak-gerakkan maupun digoyang-goyangkan, dan tidak pula dengan posisi
bersedekap.
“Diriwayatkan dari
Waki’ ia berkata: diriwayatkan dari Abdussalam bin Syidad Abu Thalut
al-Jariri, dari Ghazwan bin Jarir adh-Dhabbiy, dari ayahnya, ia berkata:
bahwasanya Sayyiduna Ali Radhiyallaahu ‘anhu ketika beliau melaksanakan
sholat meletakkan tangan kanan di atas pergelangannya. Dan hal itu
terus dilakukan hingga beliau melakukan ruku’ kecuali untuk memperbaiki
posisi pakaian serta menggaruk badannya.” (Mushannaf ibn Abi Syaibah,
juz 2, halaman 401)
Dari hadits tersebut
diketahui bahwasanya Sayyidina Ali Radhiyallaahu ‘anhu sebagai shahabat
terdekat Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dan banyak mengetahui
sholatnya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau hanya bersedekap
ketika berdiri sampai ruku’ saja.
Kalimat “فلا يزال كذلك حتى يركع”
yang maknanya “Beliau senantiasa bersedekap hingga beliau ruku’”
menunjukkan bahwa sampai batas itulah bersedekap yang dianjurkan di
dalam sholat, karena tidak ada dalil yang menunjukkan kesunnahan
bersedekap ketika I’tidal. Hal ini disebutkan oleh Syaikh Hasan bin Ali
as-Saqafi di dalam kitabnya Shahih Sifat Sholat an-Nabi:
“Dan makruh bagi orang
yang sholat kemudian ia meletakkan tangan kanannya di atas tangan
kirinya di waktu I’tidal bangun dari ruku’, sebagaimana banyak dilakukan
oleh sebagian orang-orang yang taklid buta. Sungguh tiada dalil atas
hal yang demikian ini.” (Shahih Sifat Shalat an-Nabi halaman 163)
Selanjutnya setelah sempurna berdiri, disunnahkan untuk membaca do’a:
“Tuhan kami, bagi Engkau seluruh pujian sepenuh langit, bumi dan segala sesuatu yang Engkau kehendaki sesudah itu.”
Di dalam kitab Shahih Muslim, disebutkan hadits yang menjelaskan bacaan do’a tersebut:
“Meriwayatkan Abu Bakr
bin Abi Syaibah, meriwayatkan kepada kami Abu Mu’awiyah dan Waki’ dari
al-A’masy dari Ubaid bin al-Hasan dari ibn Abi Aufa ia berkata:
Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam ketika berdiri dari ruku’
membaca:
(Shahih Muslim, juz 3, halaman 16 [733])
Berdasarkan hadits tersebut, di dalam kitab Bidayah al-Hidayah, al-Imam al-Ghazali juga memberikan penjelasan:
“Kemudian angkatlah kepalamu hingga berdiri tegak. Dan angkat pula kedua tanganmu seraya mengucapkan { Sami’allaahu liman hamidah }. Dan ketika sudah tegak berdiri beliau membaca do’a { Robbanaa lakal-hamdu mil-us-samaawaati wa mil-ul-ardhi wa mil-u maa syi’ta min syai’in ba’du }.“ (Bidayah al-Hidayah, Halaman 46)
Khusus untuk sholat
Shubuh, pada raka’at kedua setelah membaca do’a tersebut, disunnahkan
untuk membaca do’a qunut. Imam al-Ghazali menjelaskan:
“Dan apabila engkau
sedang sholat fardhu shubuh, maka hendaknya membaca do’a qunut di
raka’at kedua ketika i’tidal dari ruku’.” (Bidayah al-Hidayah, halaman
46).
Membaca
do’a qunut pada raka’at kedua sholat shubuh adalah sunnah di dalam
madzhab asy-Syafi’iyyah, dan pendapat ini juga pendapat para shahabat
Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Di dalam kitab Majmu’ Syarah
al-Muhadzdzab, imam Nawawi Rahimahullaahu Ta’aala menjelaskan:
“Di dalam madzhab kita
(madzhab Syafi’iyyah) disunnahkan untuk membaca do’a qunut di dalam
sholat shubuh. Baik ada bala’ maupun tidak, pendapat ini merupakan
pendapat kebanyakan ulama salaf dan yang sesudahnya. Dan diantara yang
berpendapat demikian adalah Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar ibn al-Khaththab,
Utsman, ‘Ali, Ibn Abbas, dan al-Barra’ ibn Azib Radhiyallaahu ‘anhum.
Demikian diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad Shahih.” (Majmu’
Syarah al-Muhadzdzab, juz 3, halaman 483)
Dalil yang dijadikan landasan pendapat ini adalah:
“Diriwayatkan dari
Abdurrazzaq ia berkata, diriwayatkan dari Abu Ja’far (ar-Raziy) dari
ar-Rabi’ bin Anas dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah
Shollallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa membaca do’a qunut di waktu
sholat shubuh hingga wafat beliau.” (Musnad Ahmad, juz 25, halaman
242[12196])
“Diriwayatkan dari Anas
bahwasanya Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam membaca do’a qunut
selama satu bulan kemudian beliau menghentikannya. Adapun di dalam
sholat Shubuh beliau senantiasa membaca do’a qunut hingga wafat beliau.”
(Sunan ad-Daruquthni, juz 4, halaman 399[1712])
Sanad hadits ini adalah
shahih, sehingga dapat dijadikan hujjah. Imam Nawawi menjelaskan hal
ini di dalam kitabnya Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab:
“Hadits yang
diriwayatkan dari Anas adalah hadits shahih yang diriwayatkan dari
banyak huffazh ahli hadits dan mereka menyatakan akan keshahihannya,
diantara yang menyatakan shahih adalah al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad
bin Ali al-Balkhi, al-Hakim Abu Abdillah di beberapa tempat di kitabnya
dan al-Baihaqi. Dan diriwayatkan pula oleh ad-Daruquthni dari jalur ini
dengan sanad shahih. Dari al-Awwam bin Hamzah ia berkata: `Aku bertanya
kepada Abu Utsman mengenai bacaan qunut di dalam sholat shubuh. Beliau
menjawab: ia dilakukan setelah ruku’. Aku bertanya lagi: Siapa yang
menyatakan demikian? Beliau menjawab: dari Abu Bakr, Umar, Utsman
radhiyallaahu ‘anhum.’ Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan beliau berkata:
Sanad hadits ini Hasan. Dan meriwayatkan pula al-Baihaqi dari Umar
melalui jalur ini. Dan dari Abdullah bin Ma’qil seorang Tabi’in, ia
berkata: `Sayyiduna Ali Radhiyallaahu ‘anhu senantiasa membaca do’a
qunut di waktu sholat shubuh.` Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan beliau
berkata: riwayat dari Sayyidina Ali ini shahih. Dan dari al-Bara’
Radhiyallaahu ‘anhu ia berkata: `Bahwasanya Rasulullah Shollallaahu
‘alaihi wa sallam membaca qunut di waktu sholat shubuh dan maghrib`
–diriwayatkan oleh Muslim, dan juga oleh Abu Dawud namun beliau tidak
menyebutkan kata “maghrib” di dalam riwayatnya.—Dan tidak mengapa
meninggalkan qunut di waktu sholat maghrib dikarenakan ia bukan
kewajiban’. ” (Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, juz 3, halaman 484)
Bacaan do’a qunut yang
masyhur diajarkan langsung oleh Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam
adalah do’a qunut yang diriwayatkan oleh Sayyiduna Hasan bin Ali bin Abi
Thalib:
“Ya Allah, berikanlah
kami petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk.
Berilah kami kesehatan seperti orang-orang yang Engkau beri kesehatan.
Berilah kami perlindungan seperti orang-orang yang Engkau beri
perlindungan. Berilah berkah terhadap segala sesuatu yang Engkau berikan
kepada kami. Jauhkanlah kami dari segala kejahatan yang Engkau
pastikan. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Menentukan dan Engkau tidak
dapat ditentukan. Dan tidak akan hina orang yang Engkau lindungi. Dan
tidak akan mulia pula orang-orang yang Engkau musuhi. Sungguh Engkau
Sang Maha Pemberi Berkah dan Maha Luhur.” (Sunan Abi Dawud, juz 4,
halaman 210).
Disebutkan pula di dalam Sunan an-Nasa’i dengan penambahan bacaan sholawat { وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ } di akhir do’a qunut. (Sunan an-Nasa’i, juz 6, halaman 259).
Dijelaskan pula oleh
Syekh Nawawi al-Bantani di dalam kitabnya Maraqi al-Ubudiyyah bahwasanya
dianjurkan untuk membaca sholawat kepada Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa
sallam di akhir do’a qunut.
“Akan tetapi lebih utama untuk membaca do’a qunut yang diajarkan oleh Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam:
” (Maraqi al-Ubudiyyah)
No comments:
Post a Comment