Sultan Agung adalah gelar yang diberikan kepada tokoh raja di Mataram yang terbesar yang berkuasa pada tahun 1613-1645. Nama “Sultan Agung” merupakan gelar yang diberikan pada masa Susuhunan Pakubuwono III (1749-1788). Namanya sendiri adalah Raden Mas Jatmiko (yang berarti sopan dan rendah hati). Kemudian ia diberi nama Raden Mas Rangsang (Padmasoesastra, 1912
Sultan Agung dikenal sebagai seorang :
Cendekiawan Muslim
Beliau adalah seorang muslim yang menaruh perhatian besar pada kehidupan beragama, antara lain dengan mendatangkan para ulama di istananya, menerapkan ketentuan berkhitan bagi para tawanan perang asing, dan penggunaan pakaian Islami (kuluk putih). Di antara ciri yang menonjol dalam hal pengamalan ajaran Islam adalah melakukan Shalat Jum’at di Masjid. Demikian juga memberlakukan ketentuan pangkas rambut bagi para prajurit kerajaan sebagai tanda ketaatan hidup beragama.
De Graaf sebagaimana dikutip oleh Chamamah (2002) mengemukakan: “Ada beberapa petunjuk bahwa sejak sebelum berlakunya tarikh Islam, Raja Mataram sungguh-sungguh menaati peraturan Agama Islam. Bahwa setelah dewasa ia menjadi lebih keras dalam hal tersebut. Hingga kini kraton-kraton masih ada (memiliki) pangeran yang menjadi lebih saleh”.
Sultan Agung bukan hanya seorang yang saleh, melainkan juga seorang ulama besar bahkan seorang filsuf pada jamannya. Beliau tidak hanya berhenti sampai pada tindakan-tindakan darurat untuk melawan arus negatif akibat kemunduran berfikir sebagian ulama Islam. Tetapi juga merenungkan dalam-dalam untuk mencari sumber yang lebih dalam agar supaya rakyatnya menemukan kebijaksanaan baru untuk mencegah kemunduran berfikir ini berkembang di masyarakat.
Beliau menulis serat sastra gending yang berarti “Kesucian Jiwa’’. Di dalam serat ini, beliau mengingatkan agar umat Islam jangan terjebak pada formalisme keagamaan. Beragama tidak cukup berhenti pada tataran syariat, tetapi harus sampai hakikat. Baik syariat maupun hakikat sama-sama pentingnya. Beliau menyatakan ‘syariat tanpa hakikat adalah kosong, sebaliknya hakikat tanpa syariat menjadi batallah shalat seseorang’.
Negarawan
Sultan Agung sebagai Raja Jawa memiliki wawasan politik yang luas dan jauh ke depan, melebihi siapa pun juga yang hidup pada jamannya. Dalam bahasa ilmu politik atau kenegaraan ia menguasai konsep politik, yang oleh Moedjanto diperkenalkan sebagai doktrin keagungbinataraan.
Menurut doktrin itu kekuasaan Raja Mataram harus merupakan ketunggalan yang utuh dan bulat. Kekuatan ini tak tersaingi, tidak terkotak-kotak, atau terbagi-bagi dan merupakan totalitas, tidak hanya pada bidang-bidang tertentu. Maka beliau berhasil mempersatukan seluruh Jawa di bawah Mataram. (Sri Sultan Hamengkubuwono XII, 2002)
Sukses melawan Belanda
Pada waktu Mataram sedang sibuk di daerah Jawa Timur, muncul kekuatan baru di Jawa, VOC. Badan dagang ini pada tahun 1619 telah berhasil merebut Jayakarta dan mendirikan di atas reruntuhan Batavia. Mataram merasakan kehadiran VOC di Batavia sebagai ancaman keutuhan wilayahnya, maka Sultan Agung pun mempersiapkan serangan besar-besaran ke Batavia tahun 1628.
Meskipun gagal, namun tekad untuk mengusir penjajah dan kemampuan Mataram mengirim ekspedisi penyerangan besar-besaran merupakan pekerjaan yang sangat besar. Inilah sebabnya, meskipun gagal tetap dikatakan sukses, terutama sukses dalam mengobarkan semangat patriotisme.
Menguatkan Sistem Pendidikan Pesantren
Pada abad berikutnya setelah masa Walisongo, sekitar abad ke-17, lembaga pendidikan pesantren semakin mendapatkan posisi di masyarakat, karena penguasa kerajaan saat itu memberikan perhatian besar terhadap pendidikan agama Islam dengan mempelopori usaha-usaha untuk memajukan dunia pendidikan dan pengajaran Islam.
Pengaruh Walisongo diperkuat oleh Sultan Agung yang merupakan penguasa terbesar di Jawa setelah pemerintahan Majapahit dan Demak, yang juga dikenal sebagai Sultan Abdurrahman dan Khalifatullah Sayyidin Panotogomo Ing Tanah Jawi, yang berarti pemimpin dan penegak agama di tanah jawa. Sultan Agung adalah pemimpin negara yang salih dan menjadi salah satu rujukan utama bagi dunia santri. Sultan Agung menjalin hubungan intim dengan kelompok ulama.
Sebagai wujud besarnya perhatian Sultan Agung terhadap pendidikan Islam, beliau menawarkan tanah pendidikan bagi kaum santri serta menciptakan iklim sehat bagi kehidupan intelektualisme keagamaan hingga komunitas ini berhasil mengembangkan lembaga pendidikan mereka tidak kurang dari 300-an pesantren.
Tanah perdikan, tanah dengan beberapa privileges adalah sebuah lokasi untuk kepentingan kehidupan beragama yang dibebaskan dari pajak Negara. Perkembangan berikutnya menunjukkkan bahwa tanah perdikan meluas menjadi sebuah kampung khusus yang memiliki fungsi keagamaan seperti menjaga tempat-tempat suci, merawat dan mengembangkan pesantren serta menghidupkan Masjid.
Pendidikan pesantren yang diselenggarakan pada masa kerajaan Mataram, khususnya masa Sultan Agung, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Tingkat pengajian Al-Qur’an, yang terdapat dalam setiap desa. Yang diajarkan meliputi huruf Hijaiyah, membaca Al-Qur’an, barjanji, Rukun Iman, Rukun Islam. Gurunya Modin.
2. Tingkat pengajian Kitab. para santri yang belajar pada tingkat ini adalah mereka yang telah khatam A1-Qur’an. Gurunya biasanya modin terpandai di desa itu, atau didatangkan dari luar dengan syarat-syarat tertentu. Guru-guru tersebut diberi gelar Abah Anom. Tempat belajar biasanya di serambi masjid dan mereka umumnya mondok. Kitab yang dipelajari adalah kitab-kitab dasar, seperti Matan Taqrib, Bidayatul Hidayah. Sistem yang digunakan adalah Sorogan
3. Tingkat Pesantren Besar. Tingkat ini lengkap dengan pondok dan tergolong tingkat tinggi. Gurunya diberi gelar Kyai Sepuh atau Kanjeng Kyai dan umumnya para priyayi “ulama kerajaan” yang tingkat kedudukannya sama dengan penghulu. Adapun pelajaran yang diberikan pada pondok pesantren tingkat ini pada umumnya berbentuk syarah dan hasyiyah dalam berbagai disiplin ilmu agama seperti Fiqih, Tafsir, Hadits, llmu Kalam, Tasawuf, Nahwu, Sharaf dan lain-lain.
4. Pondok Pesantren tingkat Keahlian (takhassus). Pelajaran pada pondok pesantren tingkat takhassus ini adalah bersifat memperdalam sesuatu fan atau disiplin ilmu pengetahuan agama seperti hadits, Tafsir, Tarekat dan sebagainya.
Sejalan dengan proses dinamis ini pendidikan Islam di Jawa masa kerajaan Mataram, khususnya pada masa Sultan Agung, sebagai masa keemasan sistem pendidikan Islam abad ke-19.
Mengganti Kalender Saka dengan Kalender Hijriah
Sebelum masa Sultan Agung, kalender yang berlaku di Indonesia khususnya di Jawa adalah kalender tahun Saka. Sejak Sultan Agung, kalender diberlakukan menggunakan kalender Hijriyah dengan angak tahun meneruskan angka tahun Saka. Nama-nama bulan, nama tahun digantikan dengan dengan nama yang sesuai dengan nilai Islam, kecuali nama pasaran di Jawa seperti Legi, Pahing, Kliwon dan Pon tetap dipertahankan.
Sejak itu, 1 Muharram tersebut tahun 1013 H bertepatan dengan 1 Muharram 1555 Jawa, bahwa, tahun itu meneruskan tahun Saka tetapi sistemnya sudah 100% Islam. Dengan diubahnya kalender Saka menjadi kalender Hijriyah, maka seluruh sistem yang berkaitan dengan waktu tidak lepas dari nilai-nilai ajaran Islam.
NOTE:
Gelar Abdur Rahman Sultan Agung didapat dari Kesultanan Usmaniyah (Ottoman) sehingga setiap raja islam diseluruh dunia ketika itu terhubung dan memilki satu Imam, satu Sultan. SubhanAllah. Mawalana Syaikh Nazim mengatakan bahwa banyak sekali sultan yang mempunyai kekuatan 7 wali.
No comments:
Post a Comment